Kata kekinian menandakan sesuatu yang sedang booming pada zaman ini, walapun bisa saja subjek yang dibicarakan sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Menyimak soal wahyu, bisa dikatakan kekinian bagi orang yang percaya wahyu masih ada, diturunkan oleh Allah kepada manusia sepeninggal Muhammad Saw.
Umumnya masyarakat jahiliyah pada masa awal pertablighan nabi Muhammad Saw., mempertanyakan macam-macam hal menyangkut wahyu nabi Muhamad Saw., apakah itu bukan sihir, diambil dari dongeng atau bentuk sastra tinggi? Kenapa tidak malaikat saja yang diutus ke bumi? Apa sesungguhnya wahyu itu? Masyarakat kala itu memberikan reaksi cukup tajam.
Kaum ortodoks di masa Mirza Ghulam Ahmad as sudah mempertanyakan hal yang sama, apakah wahyu yang kini diterima Mirza Ghulam Ahmad as itu semacam kahanah, ketajaman firasat belaka? Benarkah ada manusia yang dapat menerima wahyu lagi dengan sebegitu intens setelah Muhammad Saw? Dan, kalau memang bisa mendapat wahyu lagi mengapa bukan pembesar negeri atau ulama yang sudah diakui dunia? Mengapa harus Mirza Ghulam Ahmad as yang tidak dikenal dan tidak memiliki ‘kerajaan’ dunia?
Di masa kekinian, sederetan reaksi negatif tersebut harus dihadapi oleh utusan Tuhan. Mirza Ghulam Ahmad as menyampaikan dengan sangat terbuka di tengah-tengah masyarakat lalu para sahabat mencatat, dan mempelajari dengan tekun serta berupaya memahami dan menghayatinya sesuatu yang baru tersebut. Lalu mereka mengamalkan dengan penuh ghairah, penuh keuletan dan ketabahan, ditengah-tengah segala macam rintangan dan cobaan yang menuntut pengorbanan besar, keberanian dan keikhlasan.
Al-Quran telah berbicara tentang arti wahyu dan jenis-jenisnya. Melalui fakta sejarah, memperlihatkan bagaimana umat manusia sepanjang sejarah telah mengenal rasul-rasul pembawa wahyu, ada yang membawa wahyu syariat dan ada yang tidak membawa wahyu syariat hanya melanjutkan syariat sebelumnya. Eksistensi wahyu adalah suatu penegasan bahwa ada sumber petunjuk yang lebih sempurna dari akal manusia.
Mirza Ghulam Ahmad as adalah penerima wahyu kekinian yang mampu eksis selama 127 tahun lebih dalam dunia keislaman. Pemikiran-pemikirannya berkembang berkaitan dengan masih turunnya wahyu samawi misalnya pemahaman wahyu dalam agama lain telah tertutup dengan datangnya Islam membuka kembali tentang keyakinan manusia terhadap wahyu Tuhan lalu kini kenapa umat Islam ingin mengikuti kembali langkah penganut agama terdahulu dengan menutup kembali pintu turunnya wahyu? Bukan Tuhan yang menutup pintu wahyu melainkan manusia karena mereka tidak menerima wahyu tersebut sehingga membuat dalih-dalih? Sifat Tuhan almutakalim apakah sudah berhenti?
“Dan, tidak mungkin bagi manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang (malaikat) untuk mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Tinggi, Maha Bijak” (42:52)
Wahyu sebagaimana yang digunakan al-Quran memiliki pengertian luas wahyu diturunkan tidak hanya kepada utusan-Nya saja namun termasuk kepada hewan yang kita sebut dengan naluri missal kepada lebah (16:68), hukum alam kepada bumi (99:5), kepada langit (41:12). Wahyu kepada malaikat (8:12), dan wahyu kepada manusia selain utusan Tuhan (5:111 atau 27:8)
Al-Quran menjelaskan bahwa semua manusia tidak memiliki bakat dan kemampuan alami yang sama, dan tidak pula mereka mempunyai martabat ruhani yang serupa bahkan wahyu kepada para nabi tidak memiliki pola yang sama, disesuaikan dengan kualitas dan lingkup yang dituju.
Bagi argumentasi pendiri Ahmadiyah yang mendapatkan jenis wahyu kenabian ‘umati’ (jenis wahyu tidak membawa syariat baru hanya melanjutkan syariat Muhammad Saw) mengukuhkan tesis mereka bahwa wahyu adalah karunia abadi, tidak bisa berakhir seperti halnya pintu kenabian yang masih dimungkinkan diberikan nikmat tersebut oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya (4:69). Pekerjaan Tuhan seperti ini bersifat abadi (22:75) dan tidak mungkin ada manusia yang memiliki kemampuan untuk menghalangi pekerjaan Tuhan tersebut. Dengan keabadian pintu wahyu termasuk berbentuk kenabian memberi pengertian bahwa terbukanya pintu kenabian adalah nikmat Allah (surah alfatihah) yang paling besar (5:5) jika nikmat terbukanya pintu kenabian telah terputus maka nikmat itu tidak dapat dikatakan sebagai nikmat yang telah sempurna, itmamun ni’mah (12:6). Hakikatnya, eksistensi wahyu pada zaman kini (kekinian) memiliki penafsiran yang berkembang sesuai dalilnya sehingga menyisakan peluang terbuka pintu wahyu kepada siapapun yang Tuhan kehendaki terutama dalam agama Islam, tidak sama lagi dengan pandangan kaum ortodoks.
Apabila diamati kehidupan ini, maka nampak jelas bahwa agama bergerak secara dinamika (alharakah wan-nasyath) menimbulkan perubahan dan pemikiran dari satu tahap pemikiran ke tahap yang lainnya. Jelasnya, agama Islam bukan suatu wujud peradaban manusia di zaman tertentu. Tampilnya mujaddid juga pertanda adanya dinamika yang besar sekaligus pertanda pula banyaknya tantangan yang dihadapi dari waktu ke waktu. Dinamika ini memberi dua ruang, pertama mempertahankan kemurnian ajaran yang sudah ada kalangan mayoritas atau kedua, memberi ruang gerak bagi dinamika keilmuan yang ada tentunya sedikit-banyak merombak pemahaman mayoritas yang dilakukan oleh kalangan minoritas.
Banyak tajdid telah diberlakukan agama Islam dalam berbagai macam kaidah keilmuan namun tak satupun para mujtahid abad ke-7 Masehi menyentuh perihal wahyu, kini diabad ke 14 dengan adanya faham Ahmadiyah menambah khazanah tajdid dalam tubuh Islam. Kini, masyarakat Islam dihadapkan kepada dua pilihan yang ada, tinggal memilih mana yang dirasa paling benar oleh dirinya walaupun sesungguhnya kebenaran itu sungguh hak Allah Ta’ala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H