Konsep Tuhan juga dijelaskan dari sudut pandang filsafat. Konsep Tuhan dari sudut pandang filsafat identik dengan Prinsip "Ada", "Gerak" dan "Hidup". Diskursus tentang Allah dari sudut pandang filsafat (Prinsip "Ada", "Gerak" dan "Hidup") menghasilkan pendapat yang berbeda-beda. Beberapa filusuf mengakui eksistensi Allah.
Socrates menamai Daimonia.[4] dengan nama Allah merupakan Sang Penyelenggara Semesta. Dasarnya  yaitu Allah merupakan sesuatu hal yang berada di luar akal budi manusia. Allah tidak bisa disamakan dengan gambaran manusia (antroprofisme)
Platon menyebut nama Allah dengan sebutan Demiurgos atau Pencipta.[5]  Platon bisa menyebut Demiurgos berasal dari pemunculan Intelek Ilahi. Intelek Ilahi dapat dipahami dari gagasan empat proposisi yaitu: Ada yang tetap dapat dimengerti akal budi; Ada yang menjadi bukanlah Ada yang sejati; Ada yang menjadi memerlukan kehadiran unsur lain; sebelum Demiurgos menciptakan  sesuatu, ia merujuk dari hasil ciptaan yang ada. Sehingga, ia mampu memproduksi dunia yang paling baik dan  indah . Ia pun mendasarkan hasil produksi ciptaan pada Satu (hakikat Kebaikan). Hakikat Kebaikkan merupakan tanda dari aktivitas dan karya intelektual Demiurgos dengan menggunakan cara pemaduan dan pelepasan.
 Sebutan Allah menurut Aristoteles yaitu Motor Immobilis.[6] Motor Immobilis merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan. "Apakah ada substansi super?" Motor Imobilis adalah Penggerak Pertama dari segala Ada.  Ia hanya memikirkan tentang dirinya sendiri karena ia bersifat tetap, abadi, sempurna, kekal dan transenden.
 Konsep Tuhan dari sudut pandang teroris tidak sejalan dengan sudut pandang universal. Konsep Tuhan bagi pelaku teroris merupakan konsep Tuhan yang egois. Mereka menggunakan konsep Tuhan untuk melegitimasi perbuatan keji mereka. Mereka menggunakan konsep Tuhan untuk menyebarkan ideologi mereka. Ideologi untuk melenyapkan manusia. Salah satu ideologi  yang salah diartikan yaitu jihad.[7] Para teroris mengartikan jihad secara sempit. Mereka hanya mengartikan jihad untuk kekerasan dan perang. Pandangan mereka terhadap jihad seolah-olah Tuhan mengajarkan untuk berbuat jahat. Pandangan tersebut mengindikasikan bahwa Tuhan seolah-olah tidak menginginkan kehidupan.Â
 Padahal, jihad dalam al-Quran dan as-Sunnah artinya usaha keras untuk mengatasi kepentingan pribadi. [8]Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebenaran. Kebenaran inilah yang menjadi fondasi dalam kepribadian seorang muslim. Jihad menghantar orang untuk berbuat baik. Dari sini bisa diketahui bahwa istilah jihad merupakan suatu hal yang luhur dan suci. Â
 IV. Memahami Konsep Manusia dan Sesama : Universal dan Teroris.
Kemanusiaan dari sudut pandang filsafat mempunyai dua bagian yaitu jiwa dan badan. Setiap bagian memiliki ciri khasnya tersendiri. Kemanusiaan manusia berkaitan dengan hakikatnya dan sifat "mengada"nya (esse). [9]Hakikat manusia terletak pada jiwanya. Jiwa seseorang berkaitan dengan pikiran. Karena, manusia ialah binatang yang berakal budi. Manusia menggunakan akal budinya untuk mencari, memahami, mengenali situasi serta berani mengambil sebuah keputusan. Proses-proses tersebut merupakan sifat dari "mengada"(esse) manusia. "Mengada" (esse) berkaitan dengan segala pengalamannya. Hakikat manusia dan sifat mengada manusia merupakan satu kesatuan dengan badan manusia.Â
Diskursus tentang jiwa dan badan dijelaskan oleh beberapa filusuf. Sokrates merupakan filosof pertama yang berbicara tentang siapakah manusia. Baginya manusia ialah jiwanya. Jiwa inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lain. Jiwa bekaitan dengan berpikir. Berpikir merupakan tindakan keberadaan dari manusia. Keberadaan manusia untuk menemukan tujuan hidupnya yang sejati untuk memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan identik dengan keutamaan.Â
Cara untuk memperoleh keutamaan dengan memiliki pengetahuan. [10] Plato meneruskan pendapat dari Sokrates tentang manusia. Manusia berada di dunia hanya sekedar numpang lewat karena ia melihat manusia memiliki dualisme. Dualisme  antara jiwa dengan badan. Istilah yang paling sering digunakan ialah tubuh adalah penjara jiwa. Tubuh itu bersifat sementara karena ia berada di dunia materi. Sedangkan, jiwa bersifat abadi karena ia berada di dunia ide. Sehingga, dualisme tersebut menyebabkan jiwa manusia menjadi tidak murni lagi. Cara untuk memurnikan jiwa dengan  berpikir. Ketika orang mampu berpikir, ia akan memiliki keutamaan (bersikap adil, bijaksana, dan sederhana) Aristoteles menganggap jiwa dan badan manusia merupakan hal yang setara. [11]Â
Ia juga membedakan jiwa dalam tiga kategori yaitu jiwa vegetatif, jiwa sensitif, jiwa intelektif. [12]Dari ketiga jiwa tersebut, jiwa intelektif yang dapat menghantar manusia kepada kebahagiaan. Â Mengapa? Karena jiwa intelektif memampukan manusia untuk berpikir secara rasional. Kebahagiaan seseorang bisa terlihat dari keutamaannya. Keutaman menurut Aristoteles ialah keutamaan etis, dianoetis. Keutamaan etis berkaitan dengan moral. Sedangkan, keutamaan dianoetis berkaitan dengan kebijaksanaan. Â