Mohon tunggu...
amy mustaq
amy mustaq Mohon Tunggu... lainnya -

susah ditafsirkan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bersenandung Embun, Matahari dan Bulan

1 November 2012   02:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Teruntuk Sapardi Joko Damono


Memulai dari satu huruf berupa konsonan, mengkristal menjadi beberapa perasaan, dan makna...,

Menghirup udara saat katumbiri mulai mensedekahkan warnanya ke alam raya. melamunkan sang tercinta menjadi pilihan yang nyaman sesuai suasana diantara embun-embun yang menghembuskan prosa liris. Duduk dan meneguk segelas kopi bercampur teh murni seraya berselayang pandang kembali terarah kedalam memori siklus asmara masa lalu. kesederhanaan pikiran, keterbatasan waktu pilihan diantara penopang dan himpitan untuk memilih kesenangan dan ketenangan.

Matahari tepat diatas kepala, berganti cahaya terang ditemani iklim gerah yang membawa kepenatan berpangkal kegelisahan. kendaran itu, truck itu, motor itu, traktor itu kian menggebukan celoteh nyaring di telinga kiri. apa yang para manusia mau dikala sekarang, tepat ketika bulan sedang tidur, kabut-kabut mengurus anak dan awan mendung beristirahat di pelataran.

'Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu', senandung sang penyair dengan raut muka teduh, mencoba berbicara akan kecintaan dan penantian. senandung terdengar sampai diujung desa, hingga di ujung jalan tua yang terdengar rintihan suara katak yang bertemakan kesiapannya untuk segera punah menjadi ribuan bangkai dan properti masa depan manusia. Kereta matahari menyusut memulai untuk merebahkan raga yang lelah, pertanggung jawaban yang amat berat mencapai keemasan jagat raya.

Bulan berkaca, bersiap-siap menuju pelaminan malam di hari ke dupuluh lima. Menyaksikan kesunyian, menyimak pergantian suasana hingar bingar kembali kepada keheningan. sendiri dalam pesta, berdiri diantara nasib dan keyakinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun