Secara normative hukum, tidak ada yang salah jika Kejati melanjutkan kasus tersebut dengan pola yang sama dengan tahun 2009, 2010, 2011. Namun disisi lain, akan terjadi stagnasi pada aktifitas sosial di berbagai sudut Jawa Timur, karena merekalah penggerak sosial kemasyarakatannya. Akan banyak pesantren dan madrasah yang pincang karena penanggung jawabnya terkuras waktu dan tenagannya untuk menghadapi proses hukum. Bahkan pesantren dan madrasah akan mengalmi distrust, jika akhinrya pengadilan menyatakan penerima bantuan P2SEM, yang mana dananya telah disunat oknum, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi. Atas pertimbangan tersebut alangkah lebih indahnya jika Kejati Jatim menggunakan prinsip "Dar'ul mafasid muoddamun 'ala jalbil masholih" yang artinya adalah "Menghindari kerusakan lebih diutamakan dari memperoleh kemaslahatan.
Jika menjelang Pilkada Serentak tahun 2018 terdapat pihak yang berharap dibukannya kembali kasus P2SEM, penulis urun saran untuk mempertimbangkan hal tersebut diatas. Jika ada target politik untuk melakukan sandera terhadap "actor intelektual" P2SEM, maka upaya yang dilakukan tidak sekedar menggerakkan massa. Harus dilakukan upaya lain untuk menjaga agar para robin hood tidak menjadi sasaran bidik.
 Sah-sah saja ada tujuan politik tertentu dalam penggelontoran issu P2SEM, namun, sebelum instrument konflik horizontal bertambah, penulis menyarankan agar para "korban" pemotongan diberikan formula penyelamatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H