Mohon tunggu...
amuk nalar
amuk nalar Mohon Tunggu... Wiraswasta - advokat

berkarya untuk masa depan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arah Cerita Mahar Politik La Nyalla

2 Februari 2018   05:43 Diperbarui: 2 Februari 2018   16:29 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2018 adalah tahun politik. Tahun yang merupakan momentum daerah untuk menentukan sosok Nahkoda, yang tentu bakal berpengaruh pada keberlangsungan Pemerintahan Daerah dalam satu periode. Tahun dimana segala penjuru kepentingan politik berbaur dengan berbagai kalkulasi. Suatu tahun dimana keamanan internal negara dengan ancaman konflik horizontal dipertaruhkan. Tahun dimana ujian kedewasaan berdemokrasi tengah digelar.

Berdasar data KPU, Pilkada serentak bakal digelar di 17 Propinsi, 115 Kabupaten, dan 39 Kota. Sehingga bila ditotal secara keseluruhan di tahun 2018, terdapat 171 pertarungan perebutan kursi Kepala Daerah, 171 Potensi Konfilk,  171 titik penyelenggaraan ujian kedewasaan demokrasi, dan 171 Potensi gesekan horizontal masyarakat.

Kasus "Mahar Politik" menjadi sarapan pembuka tahun politik tahun 2018. Kasus tersebut bermula dari pengakuan La Nyalla yang diperintahkan untuk menyerahkan uang 40 Milyard kepada Gerindra sebagai syarat untuk mendapatkan rekomendasi dari Partai Gerindra. La Nyalla mau menyerahkan bahkan 300 Milyard kepada Gerindra, namun setelah pendaftaran dirinya di KPU sebagai Calon Gubernur. Keinginan tersebut tidak sejalan dengan keinginan Gerindra yang bersikeras agar La Nyalla menyerahkan uang sebelum pendaftaran di KPU. La Nyalla dan Gerindra tidak bersepakat tentang uang mahar hingga batas pendaftaran Bakal Calon Gubernur di KPU terlewati. La Nyalla gagal mendapat tiket  untuk ikut memeriahkan tahun politik 2018 sebagai Calon Gubernur.

La Nyalla geram hingga menggelar konferensi Pers, yang menyatakan bahwa dirinya gagal mendapat rekomendasai Gerindra karena tidak dapat menyerahkan uang 40 Milyar kepada Gerindra. Aksi La Nyalla tersebut merupakan suatu tindakan yang berani. Seisi Nusantara ini paham siapa Ketua Gerindra dan apa latar belakang dan masa lalunya, namun La Nyalla tidak mempedulikan semuanya. La Nyalla tetap bersikukuh membongkar praktek "mahar politik". Bahkan dalam kurun beberapa waktu selanjutnya, La Nyalla membuka posko pengaduan "mahar politik" untuk menerima pengaduan berbagai pihak yang telah menajdi korban mahar politik.

 Mahar politik selanjutnya menjadi perbincangan nasional. Bahkan suatu acara televisi yang biasa menggelar tema hukum pun, mahar politik menjadi tema, dengan judul yang sangat fantastis "La Nyalla Versus Prabowo". Mahar politik menjadi isu menarik dan menjadi santapan lezat bagi media. Sehingga tidak dapat dihindarkan upaya "goreng menggoreng" beberapa media sehingga isu tersebut menjadi suatu menu berita yang selalu ditunggu kelanjutannya oleh pembaca.

Santapan empuk soal mahar semakin "ganyeng" dengan bumbu rekaman Supri sebagai ketua Gerindra Jatim yang meminta uang kepada tim La Nyalla. Rekaman tersebut langsung diklarifikasi oleh Supri melalui siaran Pers nya yang meminta agar rekaman tidak dipotong. Berita Mahar  Politik pun semakin santer ketika tersebar rekaman asli Prabowo yang menyampaikan dengan terang dalam sebuah pidato yang pada intinya untuk menjadi kepala daerah tidak hanya butuh modal baik, tapi harus "punya uang minimal 300 Milyar".

Tidak berhenti disitu, berita tentang mahar politik bertambah dengan laporan penjaga kantor Pemuda Pancasila Jawa Timur yang menemukan 3 bom Molotov. Pelemparan bom Molotov ke kantor di Jalan Jaksa Agung Suprapto 21 Surabaya tersebut tepat sehari pers realease pembukaan posko Mahar Politik oleh La Nyalla. Sebelum peristiwa tersebut, terdapat beberapa hal yang tidak sempat direlease oleh media. Diantaranya adalah, tantangan duel seseorang dengan menggunakan atribut Garda Merah Putih kepada Baso Juherman, sekretaris Pemuda Pancasila Kota Surabaya. Tantangan tersebut disambut Baso, namun Sang penantang tak kunjung datang setelah ditunggu berjam-jam.

Terdapat broadcast melalui media sosial yang mengatasnamakan MPW Pemuda Pancasila Jawa Timur. Broadcast tersebut menyebar opini tentang solidaritas Pemuda Pancasila untuk melakukan pembelaan terhadap La Nyalla atas tindakan Gerindra Jatim. Broadcast tersebut menghimbau untuk aksi massa di kantor Gerindra Jawa Timur di tanggal 16 Januari 2018. Hampir direspon oleh beberapa kader Pemuda Pancasila di beberapa kota, dan berhasil direda. Broadcast tersebut bukan merupakan produk Pemuda Pancasila Jawa Timur, melainkan dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab.  Dan La Nyalla mengakui bahwa broadcast tersebut bukan perintah Majelis Pimpinan Wilayah.

Tidak hanya Pemuda Pancasila, Gerindra Jatim menerima surat akan adanya aksi mempertanyakan perihal mahar politik. Surat tersebut tidak pernah ditembuskan kepada Intelkam Polrestabes yang membawahi wilayah Surabaya. Surat tersebut mengatasnamakan suatu kelompok, namun tidak mencantumkan alamatya. Dan nyatanya, hingga hari pelaksanaan aksi, tidak seorang pun melakukan aksi massa di depan Kantor Gerindra.

Jika Supri selaku ketua Gerindra Jatim sempat menyatakan dalam dialog pada sebuah stasiun TV bahwa dirinya diteror dan diancam bunuh oleh orang-orang La Nyalla, hal tersebut juga sama dialami oleh pengurus Pemuda Pancasila Jawa Timur. Terdapat pengurus Pemuda Pancasila Jawa Timur yang mendapat terror dari orang tidak dikenal. Kejadian demi kejadian saling bersambutan dengan ritme yang berkesuaian dengan dua objek yang tetap, yakni kubu La Nyalla dan kubu Prabowo.

Hingga tulisan ini dibuat, tidak ada kekisruhan dalam arti fisik antara kubu La Nyalla dengan kubu Prabowo. Jadi, soal mahar politik hanyalah kekisruhan opini di media yang berlangsung tidak lebih dari satu bulan. Sekalipun begitu, hal menarik dalam peristiwa mahar politik hari ini, terdapat indikasi kedewasaan masing-masing kubu dalam meghadapi situasi.

Dengan adanya broadcast pengerahan demo Pemuda Pancasila dan surat gelap ke kantor Gerindra, selanjutnya disusul dengan tantangan "duel" terhadap Baso Juherman terhadap orang yang menggunakan gambar profil di media sosial dengan seragam GMP, (salah satu sayap Gerindra) serta kiriman bom Molotov ke kantor Pemuda Pancasila, harusnya kedua kubu ini sudah saling serang secara fisik. 

Siapa tidak mengenal Pemuda Pancasila? suatu ormas yang membina kalangan menengah ke bawah yang memiliki masa lalu sebagai orang keras di jalanan, tentu suatu kumpulan orang yang berwatak tempramen. Siapa tidak mengenal Prabowo, sosok dingin yang cukup tersohor dengan pasukan "Mawar Merah". Prabowo sangat dipastikan memiliki loyalis yang tidak dapat kita kenali, namun mereka mengenal identitas diri kita. Rasanya, ada desainer peristiwa yang berusaha memanfaatkan momentum. Yang mana dengan momentum tersebut, diri desainer ataupun kelompoknya akan meraup "keuntungan", apakah itu dalam bentuk materi ataukah dalam bentuk keuntungan politik.

Mahar Politik yang diangkat La Nyalla memang suatu topik menarik yang seharusnya tidak lekas usang. JIka kita telisik dalam UU Nomor 1 tahun 2015, tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan sanksi terhadap pemberi atau penerima uang mahar. Apalagi jika diterminologikan dengan mahar, sesuatu yang dengan ikhlas diberikan untuk menebus sesuatu yang lain. Termasuk pula dalam kerangka pidana, tidak ada aturan yang secara tegas memberikan pelarangan penarikan ataupun pemberian mahar. Toh, Partai Politik bukanlah lembaga negara, yang mana setiap aparaturnya, yang jika mendapatkan sesuatu dari orang lain, harus dilaporkan ke negara. Partai Politik adalah badan hukum yang sama kedudukannya dalam hukum perdata, atau sama kedudukannya dengan recht person atau subjek hukum dalam bentuk manusia. Sehinga penerimaan mahar tidak serta merta dapat disebut 'suap', gratifikasi ataupun korupsi.

Mahar Politik adalah suatu "adat" yang harus difatwakan dengan segera tentang 'halal' dan 'haram' nya. Jika tidak, dia akan menjadi virus berbahaya, yang bakal mereduksi nilai kepemimpinan seseorang dalam Lembaga Negara. Jika adat mahar politik dilanjutkan, maka tidaklah cukup seseorang memiliki pengalaman, pengetahuan, kepemimpinan dan kapabilitas untuk menjadi Kepala Daerah. Uang adalah syarat yang tidak ditinggalkan. Ibarat membasuh muka dalam wudlu, dia akan batal jika ditinggalkan. Namun, jika adat mahar politik dilepas liar, maka kita bakal mengalami qiamat kepemimpinan.

Mahar Politik yang dilempar oleh La Nyalla ke meja publik juga telah membuat kita mengrenyitkan dahi dan berpikir apa sesungguhnya yang terjadi. Apakah kegagalan La Nyalla memang akibat tidak disetornya uang La Nyalla kepada Gerindra?

Dalam dialog di salah satu stasiun televise, Supri selaku Ketua Gerindra Jawa Timur mengatakan bahwa La Nyalla tidak direkomendasi oleh Gerindra karena tidak dapat menjalan surat tugasnya. Bahwa pernah terbit surat tugas Gerindra di tanggal 10 Desember 2017, surat tugas tersebut memberikan tenggat waktu hingga tanggal 20 Desember 2017 agar La Nyalla memastikan dukungan dari Partai lain untuk melengkapi persyaratan pencalonan. Namun hingga batas waktu yang telah ditetapkan La Nyalla tidak dapat memenuhi, itulah yang disampaikan Supri sebagai alasan utama La Nyalla tidak mendapat rekomendasi dari Gerindra. Namun alasan tersebut akan betolak belakang jika kita selidik perilaku Gerindra yang berusaha meminang calon-calon lain di luar La Nyalla, bahkan dapat diduga penjaringan calon tersebut disaat La Nyalla sedang menjalankan tugasnya. Berdasarkan pengalamana beberapa aktivis partai, surat tugas bukan merupakan suatu rahasia umum, adalah suatu bentuk penolakan halus kepada sosok, yang mana dalam kalkulasi sebenarnya sudah dapat dipastikan si calon tidak bakal mendapatkan dukungan dari partai politik lainnya. Sehingga alasan Supri yang mengatakan bahwa tidak direkomnya La Nyalla oleh Gerindra karena kegagalan La Nyalla menjalankan surat tugasnya merupakan suatu alasan yang mengada-ada.

 Mahar politik mencoba digoreng kembali oleh Bawaslu pusat, dengan mengambil alih penanganannya ke Pusat setelah Bawaslu Jawa Timur dinilai gagal menyelesaikan. Pertanyaan sederhana, seluruh pengamat, bahkan pelaku politik pemula pun, akan mengatakan bahwa mahar politik adalah suatu kebiasaan yang sudah tidak asing dari sekian ratus penyelenggaraan Pilkada semenjak Kepala Daerah dipilih secara langsung, mengapa Bawaslu baru bergerak setelah La Nyalla bereriak di publik? Bawaslu tidak patut menyalahkan La Nyalla jika yang bersangkutan dipanggil berkali-kali tidak datang. Bawaslu tidak memiliki kewenangan yang sederajat dengan Penyidik yang dapat melakukan panggil paksa dengan perintah penjemputan. Selain itu, perkara Bawaslu adalah perkara aduan, selama tidak aduan secara tertulis kepada Bawaslu, dia tidak perlu gegabah menerbitkan panggilan ke berbagai pihak. Apalagi kemudian menyampaikan release ke media bahwa La Nyalla tidak datang memenuhi panggilannya hingga kali yang ketiga.

Yang perlu disadari oleh Bawaslu adalah keberadaannya sebagai lembaga negara. Sebagai lembaga negara, dia tidak hanya bermodal kewenangan untuk mengawasi Pilkada. Dimana letak jiwa investigatifnya ketika hanya menunggu si terpanggil memenuhi undangannya. Apakah kemudian akan menyalahkan La Nyalla yang tidak datang memenuhi panggilan, jika soal mahar politik tidak dapat dibongkar? Mengapa tidak ter publish berapa kali dia telah memanggil pihak Gerindra atau bahkan Prabowo sendiri sebagai ketua umum? Suatu lembaga negara seharusnya tidak passif, melainkan dengan tugas dan tanggung jawabnya, dia harus menjelma menjadi lembaga yang super canggih untuk melakukan investigasi terhadap fakta-fakta hukum yang dibutuhkan. Jika tidak, maka tidak dapat disalahkan jika ada masyarakat yang menilai keberadaanya hanyalah "karikatif".

Di akhir tulisan ini, penulis akan memberikan satu garis miring dengan tanda tebal. Soal mahar politik harus tuntas. Seharusnya tidak hanya La Nyalla yang berteriak, calon peserta Pilkada lain yang juga harus ikut menyuarakan, jika memang serius berniat memperbaiki negara. La Nyalla telah mendapatkan konsekwensi apa yang telah dia lakukan, dan memang itulah resiko perjuangan. La Nyalla adalah sosok hingga hari ini masih diberi tanda petik sebagai "preman" namun, kebraniannya untuk meneriakkan mahar lebih dari mereka yang berusaha tampak sebagai manusia-manusia tidak bermasalah. Apakah La Nyalla tidak memetik resiko politik? Tentu dia rasakan resiko pahitnya. Dalam suatu hadist, "quill haqqa walau kana murran" artinya "katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya".

 Terlepas siapa sesungguhnya La Nyalla, dia telah merelakan diri dengan berbagai resikonya sebagai martil dalam perjuangan menormalkan Negara. Cemooh dan makian berbagai pihak kepada La Nyalla ataupun kepada kelompoknya merupakan resiko yang tidak terhindarkan. Namun, jika melirik recordnya, dia seringkali dipojokkan dalam berbagai peristiwa, entah semenjak dirinya di PSSI ataupun ketika dirinya terkena kasus hukum. Sehingga upaya memojokkan La Nyalla adalah suatu usaha yang datar, dan bakal dianggap sebagai irama yang bukan "rock", tapi slow yang bakal dinikmati per tangga nada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun