Di dalam QS. Ad-Dzariyat: 55, Allah SWT berfirman:
وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Teruslah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin.”
Saya ada sedikit cerita, tapi fiktif, untuk memberi gambaran terkait topik pembahasan kita sekarang ini: Andi adalah pegawai baru di salah satu perusahaan impiannya. Hari-hari pertama karirnya dipenuhi dengan semangat. Segala ambisi dan tenaganya digelontorkan untuk memberikan kinerja terbaik yang mungkin diberikan. Namun semua nampak berubah seiring berjalannya waktu; meski bukan meremehkan, Andi terkesan mengentengkan pekerjaannya –alih-alih mengerjakan dengan sepenuh hati, ia bercukup diri hanya dengan mengerjakan sesuai dengan kadar minimal ketuntasan beban kerja yang diberikannya. Dahulu Andi selalu menjadi orang pertama yang tepat waktu dalam mengumpulkan tugas; belakangan, ia justru mulai tidak jarang mengumpulkan tugas-tugas yang diberikannya beberapa menit sebelum jatuh deadline.
Manajer Andi tampaknya melihat ada kemunduran produktivitas perusahaannya dibanding sebelumnya. Demi mempertahankan standar kualitas yang tinggi, ia memerintahkan beberapa kepala bidang untuk mengawasi kinerja para pegawainya. Meski banyak ditemukan dinamika variabel yang terjadi antara para pegawai yang menjadi kemungkinan inti permasalahan, kinerja Andi lah yang lebih banyak disorot. Setalah mendapat laporan, Manajer tersebut memanggil Andi ke kantornya dan mendiskusikan perkara kemerosotan performa anak buahnya tersebut. Andi menjelaskan masalah yang dialaminya dan manajer memberikan solusi terkait kendala yang disampaikan Andi. Serampungnya diskusi, Andi menjadi kembali bersemangat dalam memberikan yang terbaik. Meski tentunya kita tidak tahu, berapa lama semangat tersebut akan bertahan, setidaknya untuk saat semangat kerjanya telah kembali.
Pada cerita singkat di atas, kita dapat melihat seklumit skenario pentingnya pengawasan terhadap sesama, terlebih bawahan. Bahasa lain dari pengawasan adalah istilah yang saya pakai untuk judul di atas dan yang menjadi pembahasan utama kita di sini, yaitu “supervisi”, yang mana pelakunya disebut dengan “supervisor”. Keduanya merupakan serapan dan adaptasi dari
Supervisi merupakan kata yang serapan dari kata bahasa Inggris “supervision” yang pelakunya disebut “supervisor”. Terjemahan sederhananya adalah pengawasan. Kata supervisi cukup sering terdengar di dalam dunia pendidikan (lebih tepatnya mengarah kepada para pendidik). Tujuan supervisi, sebagaimana alasan mengapa seseorang mengawasi, adalah agar segala kesalahan dapat dikoreksi untuk kemudian dibenahi, sehingga segala hal yang dianggap kekurangan dapat ditindaklanjuti. Biasanya aktivitas supervisi dilaksanakan oleh atasan para pendidik; seperti, kepala sekolah, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dsb. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa aktivitas tersebut juga dilakukan oleh sesama rekan kerja.
Memang, secara ideal, pelaksanaan supervisi ini selalu bertujuan positif. Namun kerap kali didapati banyak pihak yang merasa lebih terbebani ketika dilaksanakannya kegiatan supervisi tersebut. Biasanya hal ini disebabkan karena mereka, para pendidik yang akan disupervisi pekerjaannya, merasa segan, sungkan, takut, canggung, gelisah, dsb. Maka dianjurkan bagi segenap supervisor untuk merencanakan pendekatan dan model supervisi yang sekiranya dapat mempermudah proses berjalannya supervisi. Salah satunya adalah dengan menerapkan pendekatan dan model supervisi yang tepat. Berikut akan saya berikan masing-masing tiga item untuk pendekatan, berikut modelnya:
Pendekatan:
- Pendekatan secara Langsung
Supervisi melalui pendekatan ini menuntut supervisor untuk secara langsung memberikan arahan kepada bawahannya tanpa perantara. Pendekatan ini berasumsi bahwa pegawai tersebut belum begitu mahir di bidangnya, sehingga perlu diberi arahan secara langsung. Di sini kita pahami bahwa pendekatan ini lebih menjurus kepada praktiknya langsung.
- Pendekatan secara Tidak Langsung
Pendekatan supervisi ini tidak serta merta mewajibkan supervisor untuk memantau dan memberikan arahan secara langsung kepada bawahannya, melainkan ia lebih menjelaskan cara memecahkan masalah, memberikan tips, dsb. Dengan demikian, pendekatan ini berasumsi bahwa yang disupervisi sudah tau apa yang harus mereka perbuat; mereka hanya diberikan tuntunan minor yang tidak langsung dipantau dan diarahkan.
- Pendekatan Kolaboratif
Pada proses pendekatan ini, alih-alih supervisor menjadi satu-satunya pemberi arahan, yang disupervisi juga turut andil memberikan solusi. Pendekatan ini lebih condong kepada diskusi dan komunikasi dua arah dan saling berbagi pengalaman dan pendapat sehingga tidak ada yang lebih tahu –keduanya saling memahami apa yang harus diperbuat, sehingga mereka mencari solusi bersama.
Model:
Untuk model, memang ada yang namanya model Supervisi Konvensional/Tradisional yang memiliki pandangan bahwa supervisi hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas atau peringkat yang lebih tinggi. Namun dari karena lumrahnya pendekatan ini dan memang banyak diterapkan pada banyaknya kalangan, maka saya singkat dan loncati kepada bentuk pendekatan yang lebih menarik untuk diketahui.
- Supervisi Ilmiah
Langkah supervisi ilmiah kurang lebih terlihat seperti anak kuliahan yang sedang mengumpulkan data untuk penelitian kuantitatifnya. Dalam praktiknya, seorang supervisor bisa mengumpulkan data melalui observasi dan angket, sehingga data yang telah dikumpulkan dapat ditindaklanjuti untuk proses benchmarking yang kemudian dapat dipergunakan untuk mengevaluasi, sehingga terlihat –apakah proses kerja suatu pegawai telah mencapai kepuasan bersama atau belum.
- Supervisi Klinis
Pada proses supervisi ini, supervisor berusaha mencarikan solusi yang tepat untuk masalah yang sedang terjadi. Pada praktiknya, supervisor dapat bekerja sama dengan para pegawai untuk memecahkan masalah yang sedang mereka alami, mungkin berupa kesilitan, hambatan, dsb.
- Supervisi Artistik
Sesuai namanya, model ini lebih berorientasi dengan kreativitas seseorang dalam mengembangkan ide-ide baru. Dalam praktiknya, seorang supervisor dapat memberikan kesempatan bagi para karyawan yang ia supervisi untuk melampiaskan kreativitas mereka untuk mempermudah pekerjaan mereka. Di sini terlihat bahwa model ini lebih banyak mendengarkan daripada bertindak atau berbicara.
Pada akhirnya, supervisi merupakan kegiatan yang menguras tenaga. Ia bermanfaat, namun juga dapat berlaku sebaliknya. Loh, kok sebaliknya? Ya, karena adakalanya supervisi hanya dianggap sebagai formalitas saja, sehingga terjadi pribahasa “masuk kuping kanan; keluar kuping kiri”. Semoga saja kita dapat memaksimalkan segala kesempatan dan aktivitas dengan sebaik-baiknya agar apapun yang kita lakukan jauh dari kata sia-sia. Toh pada akhirnya, meski memang merepotkan dan terkadang bagi sebagian orang terkesan menyebalkan, kegiatan ini juga ditujukan untuk meningkatkan, atau setidaknya mempertahankan, performa kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H