Perkembangan model evaluasi termasuk suatu fenomena yang menarik. Setelah Tyler mengemukakan model black box tahun 1949, belum terlihat ada model lain yang muncul ke permukaan. Lebih kurang 10 tahun lamanya, orang-orang yang melakukan kegiatan evaluasi hanya menggunakan model evaluasi tersebut. Hal ini mungkin disebabkan evaluasi belum menjadi studi tersendiri. Ketika itu, orang banyak mempelajari evaluasi dari psikometrik dengan kajian utamanya adalah tes dan pengukuran.
Selanjutnya, sekitar tahun 1972, model evaluasi mulai berkembang. Taylor dan Cowley, misalnya, berhasil mengumpulkan berbagai pemikiran tentang model evaluasi dan menerbitkannya dalam suatu buku. Dalam model tersebut, nuansa tes dan pengukuran masih sangat kental, sekalipun tidak lagi diidentikkan dengan evaluasi. Penggunaan desain eksperimen seperti yang dikemukakan Campbell dan Stanley (1963) menjadi ciri utama dari model evaluasi.Â
Nah, lantas apa yang dimaksud dengan evaluasi tersebut ?
Evaluasi adalah suatu alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui dan mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Dari hasil evaluasi biasanya diperoleh tentang atribut atau sifat-sifat yang terdapat pada individu atau objek yang bersangkutan. Selain menggunakan tes, data juga dapat dihimpun dengan menggunakan angket, observasi, dan wawancara atau bentuk instrumen lainnya yang sesuai (Nurhasan, 2001:3). Sedangkan menurut Brinkerhoff dalam Sawitri (2007:13) evaluasi adalah penyelidikan (proses pengumpulan informasi) yang sistematis dari berbagai aspek pengembangan program profesional dan pelatihan untuk mengevaluasi kegunaan dan kemanfaatannya.Â
Kemudian apa saja model-model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli ?
Dalam studi tentang evaluasi, banyak sekali dijumpai model-model evaluasi dengan format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa model ada juga yang sama. Ada banyak model evaluasi program yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai untuk mengevaluasi program. Model-model tersebut di antaranya :Â
1. Discrepancy Model (Provus)Â
Evaluasi model kesenjangan (discrepancy model) menurut Provus (dalam Fernandes, 1984) adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard) yang sudah ditentukan dalam program dengan kinerja (performance) sesungguhnya dari program tersebut. Baku adalah kriteria yang ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan programÂ
2. CIPP Model (Daniel Stufflebeam's)Â
Model CIPP (Context, Input, Process, dan Product) merupakan model evaluasi di mana evaluasi dilakukan secara keseluruhan sebagai suatu sistem. Evaluasi model CIPP merupakan konsep yang ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki (Stufflebeam, H McKee and B McKee, 2003:118).Â
3. . Responsive Evaluation Model (Robert Stake's)Â
Evaluasi ini  menekankan pada pendekatan kualitatif-naturalistik. Evaluasi tidak diartikan sebagai pengukuran melainkan pemberian makna atau melukiskan sebuah realitas dari berbagai perspektif orang- orang yang terlibat, berminat dan berkepentingan dengan program. Tujuan evaluasi adalah untuk memahami semua komponen program melalui berbagai sudut pandangan yang berbeda. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, maka model ini kurang percaya terhadap hal-hal yang bersifat kuantitatif. Instrumen yang digunakan pada umumnya mengandalkan observasi langsung maupun tak langsung dengan interpretasi data yang impresionistik.
4. Formative-Sumatif Evaluation Model (Michael Scriven's)Â
Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program sedang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau orang-orang dalam program. Evaluator sering merupakan bagian dari program dan kerja sama dengan orang orang dalam program. Strategi pengumpulan informasi mungkin juga dipakai tetapi penekanan pada usaha memberikan informasi yang berguna secepatnya bagi perbaikan program.Â
5. Measurement Model (Edward L. Thorndike dan Robert L. Ebel)Â
Model pengukuran (measurement model) banyak mengemukakan pemikiran- pemikiran dari R Edward L. Thorndike dan Robert L. Ebel. Sesuai dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan pada kegiatan pengukuran. Pengukuran digunakan untuk menentukan kuantitas suatu sifat (atribute) tertentu yang dimiliki oleh objek, orang maupun peristiwa, dalam bentuk unit ukuran tertentu.Â
6. Goal-Free Evaluation Approach (Michael Scriven's)Â
Model evaluasi bebas tujuan maksudnya, bahwa para evaluator atau penilai mengambil dari berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau kongkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program pendidikan dan pelatihan. Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap usulan tujuan-tujuan dalam evaluasi, tetapi tidak dalam proses evaluasi atau produk. Keuntungan yang dapat diambil dari evaluasi bebas tujuan, bahwa dalam evaluasi bebas tujuan para penilai mengetahui antisipasi pengaruh-pengaruh penting terhadap tujuan dasar dari penilai yang menyimpang.Â
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kegiatan penilaian dalam evaluasi tidak hanya dilaksanakan pada akhir kegiatan program, tetapi sebaiknya dilakukan sejak awal, yaitu dari penyususnan rancangan program, pelaksanaan program dan hasil dari program tersebut. Penilaian hasil program tidak cukup hanya pada hasil jangka pendek (output) tetapi dapat menjangkau hasil dalam jangka panjang (outcome and impact program). Berbagai model evaluasi tersebut dapat digunakan tergantung kepada tujuan evaluasi yang ditetapkan. Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa keberhasilan suatu evaluasi program secara keseluruhan bukan hanya dipengaruhi penggunaan yang tepat pada sebuah model evaluasi melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H