[caption caption="Sumber: Merdeka.com/Muhammad Luthfi Rahman"][/caption]Dua pekan terakhir, tersiar berita jika Bandar Udara Halim Perdanakusuma --- nama seorang pahlawan nasional, asal Sampang-Madura, gugur di usia 25 tahun dalam tugas penerbangan militer --- yang terletak di Jakarta, adalah aset negara yang selama ini dikuasai TNI Angkatan Udara, telah dijual kepada pihak swasta, yakni anak perusahaan Lion Air Group, PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS). Usaha milik Rusdi Kirana, salah satu tim penasehat Presiden RI.
Berita penjualan itu didasari pada amar putusan Mahkamah Agung, 3 Maret 2016, terhadap hak pengelolaan bandara yang diberikan kepada PT ATS. Putusan itu, merupakan penolakan terakhir atas upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), yang dilayangkan oleh PT Angkasa Pura II, terkait sengketa pengelolaan Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Sebelumnya, pada 16 Juli 2014, Mahkamah Agung juga telah menolak upaya kasasi diajukan PT Angkasa Pura II.
Sengketa hukum ini, sebenarnya bermula ketika Inkopau (Induk Koperasi Angkatan Udara), membuat perjanjian bersama dengan PT ATS, melalui surat perjanjian Nomor: Sperjan/10-09/03/01/Inkopau, Nomor: 003/JT-WON/PKS/II/2005, tertanggal 24 Februari 2005, tentang Pengelolaan Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Berdasar perjanjian itu, PT ATS diberikan hak sebagai pengelola bandara. Tapi PT Angkasa Pura II, menolak menyerahkan ke PT ATS.
PT Angkasa Pura II berdalih, bahwa hak pengelolaan Bandar Udara Halim Perdanakusuma, sesunguhnya adalah hak mereka, sejak 13 Agustus 1984, berdasar kesepakatan antara TNI Angkatan Udara dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Tapi karena PT Angkasa Pura II bertahan pada sikapnya itu, PT ATS yang merasa dirugikan, menggugat Inkopau, juga PT Angkasa Pura II, ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. PT ATS menuntut hak pengelolaan.
Permohonan gugatan PT ATS, meminta Inkopau untuk konsisten pada perjanjian kerjasama yang mereka sepakati. Selanjutnya pada PT Angkasa Pura II, meminta perusahaan negara itu agar segera mengosongkan asset yang dimiliki di bandara. Permohonan gugatan PT ATS itu, dikabulkan pengadilan. Namun karena PT Angkasa Pura II merasa dirugikan atas putusan itu, PT Angkasa Pura II melakukan perlawanan hokum, hingga putusan Peninjauan Kembali (PK).
Amar putusan penolakan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung itulah, kemudian disalahmengerti sekian pihak, bahwa TNI Angkatan Udara telah “menjual” aset negara yang selama ini dikuasai, yakni Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Apalagi karena pihak paling diuntungkan oleh putusan Mahkamah Agung, tak lain adalah perusahaan swasta milik salah satu anggota Tim Penasehat Presiden RI. Tudingan seperti itu, ditolak TNI Angkatan Udara.
Pihak TNI Angkatan Udara menjelaskan, bahwa yang dikelola PT ATS hanya 21 ha dari 2.600 ha luas lapangan udara. Kendali Operasional tetap dipegang TNI Angkatan Udara. Adapun PT Angkasa Pura II, meski gugatannya ditolak, tidak serta merta menyerahkan hak pengelolaan bandara, karena menyangkut keamanan dan keselamatan penerbangan. Pihak PT ATS tidak memiliki sertifikasi pengelolaan bandara seperti dimiliki hanya oleh PT Angkasa Pura I dan II.
Makassar, 18 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H