Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kembali Menghidupkan GBHN

2 Februari 2016   21:35 Diperbarui: 2 Februari 2016   21:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Photo: Jokowinomics.com"][/caption]

Ketika menyampaikan pidato pada pembukaan Rakernas PDI-P, 10 Januari 2016 yang lalu, di Jakarta, Ketua Umum PDI-P, Megawati, menyampaikan sudah saatnya visi dan misi personal para pemimpin untuk dirubah dengan konsep jangka panjang. “Indonesia ini nanti mau jadi apa? Jangan sampai konsep Indonesia berubah terus hanya karena pemimpinnya berganti”, jelas Megawati yang berharap agar konsepsi jangka panjang haluan negara, segera disusun.

Di kesempatan yang sama, Presiden RI, Joko Widodo yang menyampaikan sambutan setelah Megawati, menyampaikan dukungannya terhadap gagasan perlunya merumuskan konsepsi haluan negara yang berjangka panjang. “Agar kita tidak lagi memikirkan haluan negara yang jangka pendek dalam masa lima hingga sepuluh tahun saja, tapi kita juga harus memikirkan konsep haluan negara yang berjangka panjang untuk ke depannya”, jelas Joko Widodo.

Pernyatan seragam disampaikan Megawati dan Joko Widodo, mengingatkan kembali pada rumusan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) di masa Orde Baru, yang ditetapkan MPR-RI dan dijalankan sepenuhnya oleh Presiden RI, Soeharto, selaku mandataris MPR-RI. GBHN menjadi acuan pemerintah dalam menata kebijakan pembangunan yang akan dijalankan, sekaligus menjadi pijakan bagi DPR/MPR-RI untuk menilai sejauhmana kinerja pemerintah.

Namun di era reformasi ketika dilakukan amandemen UUD 1945, mulai diberlakukan sistem presidensial. GBHN dengan sendirinya ditiadakan, karena MPR-RI bukan lagi diposisi sebagai lembaga tertinggi negara untuk menyusun GBHN atau memintai pertanggungjawaban pada Presiden RI. Sementara Presiden RI, juga bukan lagi mandataris MPR-RI, sehingga Presiden RI memiliki kewajiban menyusun rencana pembangunan nasionalnya secara sendiri-sendiri.

Akibat karena tiap Presiden RI menyusun visi dan misinya sendiri-sendiri, maka konsekuensi yang harus ditanggung negara, seperti nasibnya yang disampaikan seragam oleh Megawati dan Joko Widodo. Arah, kebijakan dan program pembangunan nasional, tak lagi berorientasi dan berkesinambungan secara jangka panjang, karena masing-masing presiden menjalankan program sesuai visi dan misinya. Juga tidak lagi mempertanggungjawabkannya pada MR-RI.

Bahkan risikonya, saat amandemen UUD 1945, juga dihasilkan penguatan otonomi daerah, sehingga sulit dihindari adanya perencanaan pembangunan yang berjenjang. Sehingga pada saat ini, berjalan empat tingkatan perencanaan pembangunan. Yaitu, perencanaan di tingkat desa, kabupaten/kota, propinsi dan tingkat nasional. Dan keempatnya, tidak berjalan seiring akibat benturan logika masing-masing pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyatnya.

Memang dilematis. Satu sisi, negara perlu perencanaan pembangunan berkelanjutan, tetapi di sisi lain menurut pakar tata negara, jika GBHN ingin dihidupkan kembali, maka UUD 1945 mesti dilakukan amandemen ulang. MPR-RI kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Dan Presiden RI sebagai mandatarisnya. Dan tak mustahil jika PDI-P akan menawarkan konsepsi Soekarno, “Pembangunan Semesta Berencana”, ditetapkan sebagai haluan jangka panjang.

Makassar, 20 Januari 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun