Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Politisi dan Wartawan, Satu Bingkai Dua Wajah

31 Maret 2011   11:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:15 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_98804" align="aligncenter" width="496" caption="illustrasi: karikatur - toonpool.com"][/caption]

Oleh Armin Mustamin Toputiri

Andai suatu kali kita ditanyai apa persesamaan --- juga sekaligus --- perbedaan antara wartawan satu sisi dan politisi pada sisi yang lain, maka jawaban masing-masing diantara kita tentu pastilah beragam dan berbeda-beda. Tapi andaikan saya yang ditanyai, maka jawaban saya cukup sederhana saja, bahwa perbedaan dua profesi itu tentu juga banyak ragamnya, tapi persesamaan antara keduanya hanya satu. Persesamaannya yang satu itu adalah, kedua-duanya sama-sama berangkat dari kata-kata. Setidaknya demikian menurut pemahaman sederhana saya. Berangkat dari persesamaan seperti saya jawabkan secara sederhana itu, sekaligus dari sana saya ingin mengemukakan perbedaannya. Politisi menyalurkan kata-kata dari ujung lidah, sementara wartawan menyalurkan kata-kata melalui ujung pena. Yang satu memanfaatkan kata-kata dari goyangan mulut, sedangkan yang satunya lagi memfungsikan kata-kata dari gerakan tangan. Politisi menggunakan oral untuk menghasilan suara, sementara wartawan menggunakan pena untuk menghasilkan tulisan. Publik mendengarkan kata-kata dari mulut politisi, dan publik pun membaca tulisan yang ditulis wartawan. Kira-kira sedemikian --- sekali lagi alur pemahaman yang sederhana saya --- untuk coba mau menjawab andaikan saya ditanyai persesamaan dan perbedaan kedua profesi "terhormat" dimata publik itu. Terhormat dalam arti yang seideal-idealnya profesi untuk tujuannya yang ideal pula. Sama sekali bukan pada prakteknya yang sangat sulit dilepaskan dari integritas individu --- bisa juga termasuk di dalamnya kelembagaan --- masing-masing kedua profesi penting itu. Musababnya karena esensi manusia sebagai subjek, bebas nilai dan bebas pilih, sendirinya sangat sulit dipisahkan dari subjektifitas pilihan bahkan pemihakan sekalipun. *** Saya kemukakan jawaban sederhana seperti itu, berangkat dari pengalaman saya ketika suatu kali bersama sejumlah kolega saya "pekerja politik" --- demikian saya lebih senang menyebut diri dibanding disebut politisi --- Partai Golkar Sulawesi Selatan berkunjungan ke kantor redaksi salah satu media cetak lokal terkemuka di kawasan Timur Indonesia di Makassar. Begitu tinggi penghormatan diberikan media lokal itu pada (kami) tetamu yang berkunjung. Alangkah mengesankan karena semua pucuk pimpinan --- usaha dan redaksi --- begitu akrab dan ramah menerima. Tapi yang lebih mengesankan lagi --- setidaknya bagi saya --- bahkan hendak saya mau katakan menggelitik saya, bagaimana kelakar seorang kolega saya politisi muda dengan pemimpin redaksi media cetak harian itu. Pemimpin redaksi menjelaskan, bahwa meski medianya akan ikut memberi apresiasi tinggi melalui pemberitaan terhadap hajatan politik yang akan segera kami lakukan, tapi sekaligus ia memohon pengertian dan pemakluman jika mereka akan tetap menjalankan tugas jurnalisnya secara profesional. Berpegang motto "Bijak di garis tak berpihak", sebagai prinsip dasar. Oleh karena itu, Pemimpin Redaksi menyatakan diri siap dikritik jika seandainya media mereka ada kekeliruan. Tapi sontak kolega saya kader muda Partai Golkar menyahuti, juga sebaliknya meminta jika seandainya nantinya pelaksanan hajatan politik yang kami lakukan ada kekeliruan, juga jangan sungken harap dikritik. "Tapi harap kritikannya langsung, jangan kami dikritik melalui pemberitaan", sela kolega saya. Namun tak kalah tangkasnya pula, pemimpin redaksi memberi argumen. "Itulah cara kami wartawan, melakukan kritik melalui tulisan, kalau kritikan kami secara lisan itu sudah kerja politisi", tepisnya secara kelakar pula. *** Meskipun dialog kolega saya dengan pemimpin redaksi media cetak harian terkemuka itu, berlangsung dengan penuh canda dan kelakar, tanpa ada maksud lain dan pretensi apapun terkandung didalamnya, tapi jujur saja --- sekali lagi --- saya begitu terkesan dengan dialog yang dibumbui argumen dan diplomasi secerdas itu. Jika dicerna secara sederhana dialog kala itu, mungkin tak ada isi selain permainan kata-kata saja. Tapi justru dari kepandaian memainkan kata-kata itulah yang mengesankan saya. Lantaran begitu mengesankannya, tidak betah saya simpan sendiri, sehingga saya tuliskan dalam catatan ringan kali ini. Sebenarnya bukan saja karena kepandaian kedua orang ini memainkan kata-kata yang mengesankan saya, malah justru karena kemampuan dari keduanya menangkap pesan yang diterima, sekaligus kepandain keduanya dalam mengartikulasikan pesan diterimanya untuk secara cepat diterjemahkan dalam bentuk susunan kata-kata pada alur kalimat menjadi argumen dan diplomasi yang sanggat tepat, pas dan mengena pada sasaran sebagaimana mestinya. Itu sebabnya saya menilai dialog penuh argumentasi dan diplomasi kala itu, begitu cerdas dan begitu mengesankannya. Berargumen dan berdiplomasi semacam itu, sesungguhnya bukanlah hal mudah dilakukan bagi banyak orang. Membutuhkan alur nalar serta pengalaman yang cukup, dan terlebih lagi keterampilan khusus dimana tidak banyak orang bisa sampai pada skill demikian. Kalau mau dikatakan sejujurnya, diri pribadi saya pun tak memiliki kecakapan khusus seperti itu. Makanya secara pribadi sejujurnya pula mengakui jika saya benar-benar memberi apresiasi tersendiri terhadap pergurauan hari itu. Setidaknya mengajak saya untuk merenungkannya sejenak. Dan hasilnya sebagaimana jawaban saya terhadap persesamaan dan pembeda antara politisi dan wartawan, yang satu bingkai dua wajah itu. Makassar, 31 Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun