[caption id="attachment_99004" align="alignleft" width="801" caption="Penulis sedang berada di atas kereta cepat negeri sakura Jepang (dok pribadi)"][/caption] Oleh Armin Mustamin Toputiri
Siapa pernah menduga jika teman kuliah saya di Makassar dulu, kini jadi pengusaha sukses di Jakarta. Ia berkendara mobil mewah dan memiliki rumah mentereng di kawasan condet. Saking akrabnya, suatu kali saya menanyai apakah dirinya pernah menduga jika kelak bisa mencapai puncak kepemilikan materil seperti ini. Tapi ia tertawa lebar. Tertawa karena saya mengatakannya dengan istilah “puncak”, sebab menurutnya yang namanya manusia tak ada puas-puasnya sehingga tidak mengenal istilah puncak. “Semua orang tidak ada pernah menduga apa dan bagaimana nasibnya kelak. Kita hanya berusaha, Tuhan menentukan”.
Beberapa tahun lalu, pada suatu sore saat teman baik itu mengetahui saya sedang berada di Jakarta, ia mengajak saya bergabung ngopi dengannya di Hotel Mulia Senayan. Ia menyuruh sopirnya menjemput saya. Saat duduk di launge cafe hotel mewah itu, karena ia sedang melayani dan serius berbincang dengan kolega bisnisnya asal korea, ia menyuruh sopirnya sementara waktu menemani saya, sambil menyilahkan kami memesan makan atau minum. Sebagaimana laiknya batas selera saya, cukup saya memesan kopi saja, sedang sang sopir dengan rasa sangat sungken dan terpaksa, memesan hanya segelas teh hangat.
Saya katakan jika sang sopir memesan dengan rasa sungken dan sangat terpaksa, tak lain karena sebelumnya ia berkali-kali menolak, jangankan memesan makan, minuman pun ia awalnya tak mau dan bergeming sedikitpun. Tapi setelah saya desak jika tak enak saya minum sendiri, ia pun bersedia. Bukannya menolak memesan karena ia risih pada bosnya, teman baik saya itu, tapi menolak karena satu hal, ia takjub melihat harga di daftar menu, secangkir kopiRp. 75.000,-. Baginya jumlah itu tak lazim, sangat jauh melampaui harga jika ia membuat kopi sendiri di rumah kos-kosannya, paling hanya senilai Rp. 3.500,- segelas.
***
Setelah kolega bisnisnya pamit, teman baik saya itu kembali menghampir saya bersama sang sopir yang mengambil posisi duduk di kursi pojok. Sebelum merapatkan pantatnya di sofa, ia mengajak kami bergeser ke lantai dasar hotel mewah itu. Kami pun segera bergegas, meski sebelumnya saya dan sang sopir seolah berlomba menyeduh habis kopi dan teh yang masih tersisahkan sekitar setengah gelas lagi. Lantaran menyeduh dengan terburu-buru, lelehan busa air kopi membasahi bibir hingga ke lintangan kumis saya.Menyaksikan keadaan itu, teman baik saya hanya bisa senyum di kulum.
Mulanya Saya kurang paham, kenapa diajak menuju ke lantai dasar Hotel Mulia Senayan itu. Belakangan akhirnya saya paham, ternyata kami diajak makan malam dengan menu khusus khas Jepang. Saya pun kurang paham untuk menyebut ini jenis makanan apa, berupa daging mentah yang direndam ke dalam cuka pedas, hanya sebatas itu selanjutnya di masukkan ke mulut. Mana menggunakan sedotan sumpit pula. Dilayani makanan khas jenis itu, bukannya menikmati, malah justru sebaliknya. Mulut saya seolah tak mau menerima, terlebih lagi leher saya pun seolah hendak menolak untuk menelan makanan yang asing untuknya itu.
Tapi karena satu sisi saya harus menghargai suguhan teman baik itu, dan sisi lain karena sejak kecil pun saya ada pengalaman dengan makananan serupa di kampung saya, berupa daging ikan mentah berlumur cuka. Pada akhirnya dengan sedikit pengorbanan, mulut dan leher saya, pun ikut berkompromi, mengunyah dan menelannya. Meski sesudahnya saya harus bergegas secepatnya pamit dan berterima kasih pada teman baik saya itu, berdalih jika saya masih memiliki urusan lain yang sangat urgen. Sekadar alasan saja, sesungguhnya saya hendak cepat pulang karena perut saya mules setelah memakan daging mentah itu.
***
Setahun setelah perjumpaan yang mengesankan dengan teman baik saya sesama mantan aktifis mahasiswa semasa kuliah itu, saya pun mendapatkan kesempatan berkunjung ke negeri sakura Jepang. Atas sponsor Kementerian Ristek RI, saya mendapatkan kepercayaan mewakili sepuluh ormas terbesar Indonesia untuk meninjau pusat reaktor nuklir Jepang dan Korea Selatan, sekaitan dengan rencana pemerintah untuk membangun pusat reaktor nuklir di pegunungan muria di Jepara, yang kemudian mendapat reaksi penolakan keras dari sejumlah ormas dan LSM pecinta lingkungan di Jawa Tengah.
Satu hal --- di luar substansi materi kunjungan --- yang paling mengesankan saya, adalah ketika berkunjung ke kantor Menristek Jepang. Tatkala sang Menteri Ristek Jepang tengah seriusnya menjelaskan kebijakan pemerintahannya soal pembangunan pembangkit reaktor nuklir di negaranya, seorang staff kantor dengan cara menunduk khas penghormatan tradisi Jepang, menyodori masing-masing kami secangkir teh yang belakangan kami tahu ternyata tanpa gula. Selebihnya karena gelas teh pahit itu sangat sederhana, buatan plastik semacam gelas bekas air mineral di Indonesia. Mana tanpa alas pula, isinya pun hanya setengah saja.
Sungguh betapa sederhananya. “Ini hidangan di kantor kementerian, bukan di tempat kos mahasiswa”, gerutu teman serombongan kami, Jeremy Teti. Malah dengan nada dongkol, presenter andalan SCTV itu menyambungnya dengan nada kelakar, bahwa andai ia ada di Indonesia dilayani seperti ini, di kantor kementerian pula, ia bakal menyirami balik siapa pun yang menghidangkan padanya. “Ini mah bukan sederhana lagi, tetapi sudah pelit namanya”, lanjutnya. “Pantasan Jepang maju terus, karena masyarakatnya pelit!”, sambungnya lagi dengan nada menggerutu. Teman serombongan lain hanya bisa tersenyum mendengarnya.
***
Tapi itulah masyarakat Jepang dengan segala kesederhanaan di balik keuletannya sehingga mampu membuktikan kedigjayaan di mata dunia dalam paruh terakhir. Jangan coba pernah mau membandingkan kultur Indonesia dengan masyarakat Jepang. Kontjaraningrat dalam bukunya “Kebudayaan Mentalitet Pembangunan” (Gramedia, 1997) mengatakan bahwa karakter masyarakat Indonesia maunya hanya menikmati hasil saja, sementara masyarakat Jepang jauh lebih mengdepankan proses produksi, karena itu penguatan SDM dan mental integritas jauh lebih penting menjadi bagian program prioritas pembangunan Jepang.
Setelah buku Kontjaraningrat --- yang berulangkali cetak ulang itu --- saya baca, akhirnya saya pun bisa memaklumi gerutu Jeremy Tety di Kantor Menristek. Artinya jangan pernah membayangkan tata cara layanan jamuan teh ala Indonesia di negeri sakura Jepang. Maksud pemahaman saya lebih jauh, bahwa apapun itu semuanya memiliki takarannya sendiri-sendiri. Misalnya, janganlah saya mendesak jika seandainya sopir pribadi teman saya itu menolak memesan secangkir teh di Hotel Mulia, karena tidklah logik menurut ukurannya jika segelas kopi seharga Rp. 75.000,- dibanding di rumah kos-kosannya hanya Rp. 3.500,-
Pada akhirnya saya harus bisa mengerti, bahwa menduga diri jadi orang kaya sampai puncak pemilikan materi, adalah suatu yang manusiawi. “Kita hanya berusaha, Tuhan menentukan”, kata teman yang bertemu saya di Hotel Mulia. Tetapi jika masih berada di kesederhanaan, jangan juga pernah memaksakan yang berlebih, karena menjadi orang kaya secara materil memerlukan mental serba ekstra. Seperti mental sang sopir yang menolak memesan segelas teh, bukan semata soal perbandingan harga, tapi kesiapan mental. Jangan seperti mental saya yang memaksakan diri makan daging mentah khas Jepang, akibatnya terserang diare.
Makassar, 01 April 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H