[caption id="attachment_98306" align="aligncenter" width="500" caption="Illustrasi; toonpool.com"][/caption] Oleh Armin Mustamin Toputiri
Seharian iseng membuka-buka halaman internet, saya menemukan dua berita di halaman Kompas, terbitan 05 September 2010. Meski pemberitaan tersebut sudah cukup usang, namun dalam takaran saya, kedua berita itu sangat menarik. Satunya dimuat hanya pada sebidang kolom kecil, kisah bagaimana seorang pembantu rumah tangga yang telah uzur, Mbah Erum (68 tahun). Dan satunya lagi --- yang menghiasi hampir satu lembar halaman Kompas --- pengenalan pada sosok seorang pensiunan Guru Besar STSI Bandung, yang usianya juga telah uzur, Prof. Drs. Jakob Sumardjo (71 tahun).
Mencermati secara mendalam uraian kedua berita itu, saya melihatnya sungguh sangatlah kontradiktif. Tapi justru pada sisi kontradiktifnya itulah menariknya kedua berita itu, paling tidak bahwa sedikitnya ikut mengusik nurani dan logika berfikir normal saya. Sebab karena itu --- di banding ratusan berita Kompas saya temukan --- hanya kedua judul berita itulah yang tersimpan di benak saya, hingga jelang tidur malam. Saya tidak paham, apakah orang-orang yang membaca Harian Kompas yang terbit pada hari saat koran itu terbit, juga sama terusiknya seperti saya ketika membaca isi kedua judul berita itu.
Memang secara sekilas saja, sesungguhnya kedua berita itu hanyalah berita biasa-biasa saja --- seperti berita pada umunya --- yang tak semestinya ikut mengusik alur berfikir orang lain, sebab bagaimana mungkin kita bisa membanding-bandingkan kisah hidup dialami seorang pembantu rumah tangga yang telah uzur di satu sisi, serta kisah hidup seorang Guru Besar pada sisi yang lain. Saya pun menyadari betapa jauh jarak keduanya untuk coba dibanding-bandingkan. Apalagi ikut mengusik perasaan dan alur berfikir normal saya. Makanya bisa jadi, justru saya yang terlalu berlebihan melihatnya.
***
Mbah Erum --- warga Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat --- yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pada sat sore hari ketika kembali pulang membeli lauk yang dimintakan majikannya. Namun di tengah jalan ia dijegat dan ditangkapi sejumlah petugas gabungan Satuan Polisi Pamong Praja dan Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat, yang kala itu memang tengah melakukan razia pengemis dan gelandangan seputaran kota Jakarta. Mbah Erum ternyata juga dikira seorang gelandangan dan pengemis.
Alasan para petugas negara itu, tak lain karena saat Mbah Erum keluar rumah, selain terlihat berjalan tertatih-tatih karena sudah tua, juga ia berjalan sendiri menenteng bungkusan yang tak jelas isinya. Lantaran sudah uzur dan sedikit lugu, Mbah Erum tak mampu menjelaskan secara meyakinkan kepada petugas kalau dirinya bukanlah golongan gelandangan apalagi seorang pengemis. Alhasil, selama lebih dari sepekan Mbah Erum, terpaksa mendekam di Panti Sosial Bina Insan Mandiri, Kedoya, Jakarta Barat.
Di halaman berbeda --- terbitan Harian Kompas hari itu --- mengulas bagaimana kisah hidup pensiunan Guru Besar, Jakob Soemardjo. Ia seorang yang memiliki nama besar, gagasan dan pemikirannya yang bernas banyak menghiasi media massa. Selain melalui tulisan-tulisannya, juga melalui sejumlah buku bermutu ditulisnya. Tapi begitu mengejutkan saya, sekian lama baru saya tahu kalau tulisan-tulisan dan buku-buku itu, hingga era kemajuan tekhnologi komputer saat ini, ternyata dilahirkan dari sebuah mesin ketiknya yang sudah cukup tua. Mengejutkannya lagi, ternyata dikerjakan di ruang kerja yang hanya seukuran 2 x 2,5 meter.
***
Lalu nilai kontradiktifnya dimana yang mesti mengusik alur berfikir saya. Kontradiktifnya menurut cara pandang saya, terletak pada soal penampilan, soal status dan pada soal nama besar. Haruskah karena soal penampilan Mbah Erum yang tidak sementereng umumnya, ia harus menerima nasib ditangkap Satuan Polisi Pamong Praja dan Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat. Bahkan lebih memilukannya lagi, karena hanya soal penampilan itulah, Mbah Erum menerima nasib yang tak diinginkannya. Ia mendekam di Panti Sosial, yang sesungguhnya bukan tempat yang tak sekalipun pernah dibayangkannya.
Tragis dan bahkan memilukan, sebuah kisah salah tangkap dilakukan aparat pemerintah, hanya karena soal penampilan. Sebab karena itu, saya begitu ngeri untuk membayangkan jika seandainya Jakob Soemardjo, sang Professor yang namanya melambung tinggi itu, jika suatu hari kelak ia keluar rumah dengan berpenampilan sederhana sebagaimana biasannya, lalu karena soal penampilannya seperti itu, ia kemudian ditangkapi Satuan Polisi Pamong Praja dan Suku Dinas Sosial, selanjutnya Guru Besar itu di jebloskan untuk menjadi salah satu penghuni Panti Sosial.
Ketakutan saya jika seandainya apa dialami Mbah Erum, juga terjadi pada diri Prof. Jakob Soemardjo, sebenarnya bukanlah ketakutan yang mengada-ada. Mungkin saja akan menjadi kenyataan sebenarnya. Kalau tidak percaya, cobalah baca pemberitaan bagaimana kisah pernah dialami peneliti sejarah yang terbilang senior, JJ Rizal. Di hari yang naas, Desember 2009, saat ia hendak kembali pulang ke rumahnya, tepat di Stasiun Pondok Cina Jakarta, ia tiba-tiba disergap dan dipukuli oleh sejumlah oknum aparat polisi. Kisah salah tangkap ini, juga tak lain karena kata polisi, selain penampilan JJ Rizal apa adanya, juga karena gerak-gerik JJ Rizal menurut takaran polisi sedikit mencurigakan.
***
Kalau demikian terjadi, jadinya saya ikut was-was pula kalau seandainya suatu waktu ada di Jakarta, lalu saya keluar rumah berpakaian apa adanya, karena memang sudah seperti itu adanya penampilan saya sehari-hari, yang mungkin menurut ukuran umum sedikit lusuh. Lantaran penampilan saya seperti itu, salah-salah saya pun ikut dikira gelandangan, bahkan pengemis, lalu saya ditangkapi Satpol PP untuk selanjutnya dijebloskan jadi penghuni panti sosial tanpa sepengetahuan keluarga saya di Makassar, kira-kira apa jadinya. Bayangan seperti itu kira-kira yang hinggap di benak saya, lalu mengusik alur fikir saya hingga larut malam tadi.
Saya bisa menduga bagaimana gerak-gerik JJ Rizal dimaksud yang membuat sejumlah aparat kepolisian melihatnya sebagai gerak-gerik mencurigakan, tak lain karena --- mungkin jadi --- cara berpakaian JJ Rizal malam itu tidak menampakkan penampilan dan cara berpakaian para peneliti Indonesia pada kebanyakannya, yang ada di balik meja kantor, di lantai paling atas gedung kampus yang tinggi dan bermenara gading itu. Berpakaian rapi, kemeja putih lengan panjang, berdasi dan berphantalon sangat licin karena tak henti-hentinya di gosok setrika listrik.
Dugaan saya bagaimana penampilan JJ Rizal pada malam itu, tidak lebih kurang pun pernah saya alami berkali-kali. Suatu kali diantara sekian kejadian sama, saya diundang memberikan pembekalan salah satu instansi pemerintah. Berpenampilan yang menurut ukuran saya sudah semestinya, lalu saya memilih duduk di sela-sela kursi peserta umumnya. Tak ada seorang pun pelaksana yang mau peduli kehadiran saya. Terlebih lagi karena memang saya tidak pernah peduli soal status, tapi belakangan ada yang tahu jika saya anggota legislatif, sekaligus yang diundang berbicara, sontak saya disilahkan di jejeran kursi kehormatan. Saya menolak, karena yang ingin duduk diri pribadi saya. Bukan status saya.
***
Hingga sore hari ini, saat duduk santai sendirian di teras depan rumah, benak saya serasa masih saja terusik kisah-kisah seperti saya kemukakan di atas. Saya tidak paham mana yang yang tepat. Ini salah tangkap, ataukah sudah sebeginikah cara kita memandang sosok setiap orang ditemui, hanya didasari pada hal-hal berbau materil. Hanya sebatas casing (sampul), berpenampilan dan statusnya. Sejujurnya saya tidak memiliki kemampuan untuk menarik kesimpulan tepat pada musabab apa muasal demikian kenyataan selalu terjadi. Padahal cara pandang seperti itu ada di sekeliling kita. Bertumbuh kembang di lingkungan sosial kita.
Saya sedikitnya mengetahui kisah serupa, bahwa bukan hanya dialami Mbah Erum, JJ Risal atau mungkin Prof. Jakob Soemardjo, tapi mungkin diantara diri kita sendiri. Entah kita yang jadi subjek pelaku yang melihat seseorang berdasar penampilannya, atau bisa mungkin sebaliknya kita adalah objeknya. Sama kisah dialami seorang petani berpakaian lusuh. Pada suatu waktu, putri raja yang cantik nan jelita, entah sebab apa kelaminnya kemasukan sebiji kajang ijo. Raja mengeluarkan maklumat, siapa bisa mengeluarkan biji kajang ijo itu tanpa menyentuh kelamin anaknya, maka dia berhak mempersunting putri semata wayangnya.
Banyak diantara orang pandai dan ahli nujum coba menawarkan keahliannya, tapi tidak sekalipun berhasil. Suatu hari seorang petani juga datang menawarkan jasa. Lantaran berpenampilan lusuh, sehingga Raja meragukannya. Tapi karena ia nekad dengan jaminan siap di penggal jika gagal, sang Raja pun mempercayainya. Sang petani yang berpakaian lusuh itu coba memercikkan air ke arah kelamin putri Raja. Tiga hari kemudian, petani itu datang lagi, ia melihat sebiji kacang ijo di kelamin putri Raja, telah tumbuh menjadi sebatang toge. Dicabutnya batang toge itu tanpa sedikitpun menyentuh kelamin putri Raja. Petani berpakaian lusuh itu, akhirnya berhak menyunting putri Raja.
***
Saat masih sendirian duduk santai sore di teras depan rumah hari ini, saat saya masih juga merenungkan kisah-kisah di atas. Bertepatan pula tetangga sebelah --- rumpun keluarga asal Manado --- lagi ramai menjalankan ibadah Nasrani. Samar-samar saya mendengar khotbah seorang pendeta yang menyampaikan pesan. Telah berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16 : 7)
Makassar, 29 Maret 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H