Ketakutan saya jika seandainya apa dialami Mbah Erum, juga terjadi pada diri Prof. Jakob Soemardjo, sebenarnya bukanlah ketakutan yang mengada-ada. Mungkin saja akan menjadi kenyataan sebenarnya. Kalau tidak percaya, cobalah baca pemberitaan bagaimana kisah pernah dialami peneliti sejarah yang terbilang senior, JJ Rizal. Di hari yang naas, Desember 2009, saat ia hendak kembali pulang ke rumahnya, tepat di Stasiun Pondok Cina Jakarta, ia tiba-tiba disergap dan dipukuli oleh sejumlah oknum aparat polisi. Kisah salah tangkap ini, juga tak lain karena kata polisi, selain penampilan JJ Rizal apa adanya, juga karena gerak-gerik JJ Rizal menurut takaran polisi sedikit mencurigakan.
***
Kalau demikian terjadi, jadinya saya ikut was-was pula kalau seandainya suatu waktu ada di Jakarta, lalu saya keluar rumah berpakaian apa adanya, karena memang sudah seperti itu adanya penampilan saya sehari-hari, yang mungkin menurut ukuran umum sedikit lusuh. Lantaran penampilan saya seperti itu, salah-salah saya pun ikut dikira gelandangan, bahkan pengemis, lalu saya ditangkapi Satpol PP untuk selanjutnya dijebloskan jadi penghuni panti sosial tanpa sepengetahuan keluarga saya di Makassar, kira-kira apa jadinya. Bayangan seperti itu kira-kira yang hinggap di benak saya, lalu mengusik alur fikir saya hingga larut malam tadi.
Saya bisa menduga bagaimana gerak-gerik JJ Rizal dimaksud yang membuat sejumlah aparat kepolisian melihatnya sebagai gerak-gerik mencurigakan, tak lain karena --- mungkin jadi --- cara berpakaian JJ Rizal malam itu tidak menampakkan penampilan dan cara berpakaian para peneliti Indonesia pada kebanyakannya, yang ada di balik meja kantor, di lantai paling atas gedung kampus yang tinggi dan bermenara gading itu. Berpakaian rapi, kemeja putih lengan panjang, berdasi dan berphantalon sangat licin karena tak henti-hentinya di gosok setrika listrik.
Dugaan saya bagaimana penampilan JJ Rizal pada malam itu, tidak lebih kurang pun pernah saya alami berkali-kali. Suatu kali diantara sekian kejadian sama, saya diundang memberikan pembekalan salah satu instansi pemerintah. Berpenampilan yang menurut ukuran saya sudah semestinya, lalu saya memilih duduk di sela-sela kursi peserta umumnya. Tak ada seorang pun pelaksana yang mau peduli kehadiran saya. Terlebih lagi karena memang saya tidak pernah peduli soal status, tapi belakangan ada yang tahu jika saya anggota legislatif, sekaligus yang diundang berbicara, sontak saya disilahkan di jejeran kursi kehormatan. Saya menolak, karena yang ingin duduk diri pribadi saya. Bukan status saya.
***
Hingga sore hari ini, saat duduk santai sendirian di teras depan rumah, benak saya serasa masih saja terusik kisah-kisah seperti saya kemukakan di atas. Saya tidak paham mana yang yang tepat. Ini salah tangkap, ataukah sudah sebeginikah cara kita memandang sosok setiap orang ditemui, hanya didasari pada hal-hal berbau materil. Hanya sebatas casing (sampul), berpenampilan dan statusnya. Sejujurnya saya tidak memiliki kemampuan untuk menarik kesimpulan tepat pada musabab apa muasal demikian kenyataan selalu terjadi. Padahal cara pandang seperti itu ada di sekeliling kita. Bertumbuh kembang di lingkungan sosial kita.
Saya sedikitnya mengetahui kisah serupa, bahwa bukan hanya dialami Mbah Erum, JJ Risal atau mungkin Prof. Jakob Soemardjo, tapi mungkin diantara diri kita sendiri. Entah kita yang jadi subjek pelaku yang melihat seseorang berdasar penampilannya, atau bisa mungkin sebaliknya kita adalah objeknya. Sama kisah dialami seorang petani berpakaian lusuh. Pada suatu waktu, putri raja yang cantik nan jelita, entah sebab apa kelaminnya kemasukan sebiji kajang ijo. Raja mengeluarkan maklumat, siapa bisa mengeluarkan biji kajang ijo itu tanpa menyentuh kelamin anaknya, maka dia berhak mempersunting putri semata wayangnya.
Banyak diantara orang pandai dan ahli nujum coba menawarkan keahliannya, tapi tidak sekalipun berhasil. Suatu hari seorang petani juga datang menawarkan jasa. Lantaran berpenampilan lusuh, sehingga Raja meragukannya. Tapi karena ia nekad dengan jaminan siap di penggal jika gagal, sang Raja pun mempercayainya. Sang petani yang berpakaian lusuh itu coba memercikkan air ke arah kelamin putri Raja. Tiga hari kemudian, petani itu datang lagi, ia melihat sebiji kacang ijo di kelamin putri Raja, telah tumbuh menjadi sebatang toge. Dicabutnya batang toge itu tanpa sedikitpun menyentuh kelamin putri Raja. Petani berpakaian lusuh itu, akhirnya berhak menyunting putri Raja.
***
Saat masih sendirian duduk santai sore di teras depan rumah hari ini, saat saya masih juga merenungkan kisah-kisah di atas. Bertepatan pula tetangga sebelah --- rumpun keluarga asal Manado --- lagi ramai menjalankan ibadah Nasrani. Samar-samar saya mendengar khotbah seorang pendeta yang menyampaikan pesan. Telah berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16 : 7)