[caption id="attachment_353915" align="alignleft" width="610" caption="Abraham dan Mega di Rakernas III PDIP di Ancol (TEMPO/Aditia Noviansyah)"][/caption]
Oleh Armin Mustamin Toputiri
Pasca KPK men-tersangka-kan calon Kapolri, Budi Gunawan, tidak berselang lama kenyataan berbalik arah, Bareskrim Polri justru berbalik men-tersangka-kan Abraham, Bambang, serta komisioner dan penyidik KPK lainnya. Belakang hari, hakim Sarpin dalam sidang praperadilan membebaskan Budi Gunawan. Sebaliknya, ke-tersangka-an Abraham, juga Bambang, serta kolega lainya di KPK, masih terus berproses di Bareskrim Polri.
Itulah konsekuensi perjuangan. Mengemban tugas untuk memberantas korupsi yang telah sekian lama melilit negeri ini, bukanlah urusan mudah. Bahkan beriring jalan dengan nyawa sebagai taruhan. Sekian orang, bahkan puluhan orang terkuat dan terpenting di negeri ini, telah mereka jerumuskan ke dalam penjara. Ada sekian triliun rupiah uang negara mereka selamatkan. Sebab itu, sudah sepantasnya mereka mendapat penghargaan negara.
Terbayang nasib negeri ini andai KPK terlemahkan atau bahkan terbubarkan. Dan upaya ke arah itu, bukanlah suatu yang mustahil. Tak lain karena di balik prestasi yang mereka hasilkan, justru di balik sebelah ada banyak orang yang tersakiti. Mereka itulah yang berkeinginan agar lembaga anti rasuah itu ditiadakan. Berbagai upaya dilakukan. Misalnya menjauhkan KPK dari para “pemberani” yang mereka istilahkan bagai malaikat tanpa dosa.
Seperti itulah Abraham dan Bambang serta kawan-kawannya dianggap. Terkhusus bagi Abraham, ia lelaki Bugis yang datang ke Jakarta bermodal tekad memberantas korupsi. Ia murni, bahkan dianggap masih lugu. Ia belum memiliki beban kepentingan dengan orang-orang di pusat kekuasaan. Makanya anggota DPR-RI memilihnya menjadi Ketua. Namun seiring perjalanan waktu, Abraham bukanlah seperti diduga. Tak semudah itu bisa diatur.
Abraham datang dari daerah, tak sedikitpun memiliki beban kepentingan pada siapa pihak berkepentingan. Maka ketika memimpin KPK, ia memakai kacamata kuda, lurus menatap ke depan. Berani tak kenal kompromi. Mengayun “badik keadilan” tanpa pandang bulu seperti pernah ia katakan, “andai anak dan keluarga saya yang melanggar hukum, tak adalah sesal bagi saya untuk menancapkan badik ini pada mereka sebagai bentuk hukuman”.
Sebab itu, periodisasi KPK ini kali sangat prestisius. Mencatat prestasi tertinggi atas cita-cita ideal KPK didirikan. Buktinya Jokowi pun tergiur melirik Abraham sebagai bakal Cawapres. Namun tak sadar, di titik itulah juga yang dikatakan Jusuf Kalla sikap “kajili-jili” (bertindak tak terukur), menjadi satu-satunya titik lemah Abraham. Pertemuan tertutup dengan politisi PDI-P, menjadi pintu masuk pihak berkepentingan yang telah lama mengintainya.
Banyak kasus coba ditimpakan. Mulai pembocoran sprindik, photo mesum, hingga pertemuan politik, hanya pemalsuan dokumen yang mampu men-tersangkakan-nya. Syukurlah bukan dituduh terlibat pembunuhan, seperti Antasari. Ataukah dibunuh seperti Munir. Tapi tragisnya, Abraham tumbang justru karena “tikaman” badik sahabatnya sendiri. Itulah konsekuensi. Tapi penegak kebenaran tak pernah mati, sekalipun berkali-kali kalah.
Makassar, 05 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H