Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Prabowo-Hatta Unggul di Kompasiana

15 Agustus 2014   10:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:29 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14080490771439895245

[caption id="attachment_319275" align="alignnone" width="720" caption="Illustrasi: Hadi Heldari - toonpool.com"][/caption]

Prabowo-Hatta unggul di Kompasiana?, yah benar sekali, Prabowo-Hatta unggul, Jokowi-JK tertinggal. Apa tidak salah?, sama sekali tidak, sudah benar. Kata siapa itu?, yah kata saya-lah, masa kata orang. Selisihnya berapa?, Prabowo-Hatta dapat 53,65 %, Jokowi-JK 44,20 %, lalu yang tidak memilih 2,14 %, silahkan selisihnya dihitung sendiri. Prosentase itu diukur dari mana?, berdasar polling. Polling-nya lembaga siapa?, yah Kompasiana-lah. Masa sih?, ya benar, kalau situ tidak mau percaya juga, silahkan lihat ini buktinya, klik-lah yang berikut: http://kotaksuara.kompasiana.com/polling_result

Sudah klik dan sudah lihat sendiri hasilnya kan?. Nah, benar saya tidak berbohong dan mengada-ada kan?. Ya iyya, sudah lihat, tapi masa hasilnya seperti itu sih?. Metode apa dilakukan dan respondennya siapa?, atau mungkin karena penjumlahan hasilnya yang keliru kali ya?, atau gimana ya?. Akh, ini pasti polling bohong-bohongan, sama sekali tidak bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Terserah mau disimpulkan bagaimana, yang penting jangan tanyakan saya kenapa hasilnya begitu, karena kita sama, hanya melihat hasil tanpa tahu prosesnya. Kalau mau pastinya, silahkan tanya “admin” Kompasiana saja.

Sekali lagi jangan coba ditanyakan pada saya bagaimana proses polling dilakukan sehingga hasilnya seperti itu, sebab selain bukan saya pembuatnya, terlebih lagi karena memang saya tidak pernah mau ambil peduli apapun hasil polling seperti itu, lebih-lebih mau mempersoalkan. Tetapi apapun hasilnya, saya menghormati kerja dan kreatifitas itu. Selain itu, berbicara angka-angka raihan suara para kandidat Pilpres 2014, sudah tidak lagi relevan. Terlebih lagi karena sejak awal mula, cara pandang saya memahami sebuah pertarungan politik, tidak diletakkan sekadar pada analisa kalah atau menang.

Sebagai pekerja politik yang terlanjur terbiasa memasuki dan berada di arena dan kancah pertarungan politik praktis, tentulah mengharapkan raihan kemenangan dan sama sekali dijauhkan dari kekalahan. Itulah keniscayaan bagi siapa saja yang memasuki dan berada di arena pertarungan. Tetapi ketika tengah berada di arena pertarungan, soal menang atau kalah, bukanlah jalan pikiran, jika perlu pikiran seperti itu dibuang jauh ke laut lepas, agar pertarungan dijalani, lepas dan enteng. Beban dipundak terasa ringan, sehingga leluasa memanfaatkan semua lini se-efektif dan se-efisien mungkin. Mendapatkan nilai tambah.

Sejumlah ahli strategi perang dari negeri tiongkok, Zun Tzu misalnya, mengingatkan kita pada jalan pikiran seperti itu. Ia telah mengajarkan kita filosofi perang, bahwa sekalipun kamu mengharapkan kemenangan, tetapi kemenangan tidaklah dihasilkan dari harapan, tetapi kemenangan dihasilkan dari pertarungan itu sendiri. Yakni pertarungan yang benar-benar dijalani, benar-benar dilalui, dan benar-benar mau menghadapi apapun risiko dan dampaknya. Entah dengan cara menaklukkannya ataukah berdamai dengan risiko dan dampaknya itu, karena ketangguhan seorang petarung ditentukan pada daya tahannya.

Ramuan ajaran para ahli perang seperti itu, mungkin filosofis dan berlebihan, tetapi mari sama kita memaknainya bahwa pertarungan tak selamanya berarti perang sesungguhnya, juga tak selamanya selalu berhadapan dengan musuh, kalah atau menang. Pertarungan sejati adalah pertarungan melawan diri sendiri, mengukur kemampuan daya tahan dan pengendalian diri. Pengendalian syahwat, hawa dan nafsu, emosi dan ambisi, keinginan dan kebutuhan yang pada prakteknya akan menunjukkan siapa kita. Menjadi takaran pihak lain --- yang tak mustahil kelak jadi musuh --- “track record” atau jam terbang kita.

Para petarung sejati sangatlah mudah mengukur kekuatan lawan-lawanya. Mengukurnya berdasar cara kita merespon pertarungan. Cara kita memberikan aksi dan reaksi terhadap suatu soal. Tentang cara kita mengendalikan syahwat, hawa dan nafsu, emosi dan ambisi, kemauan dan kebutuhan, serta lain semacamnya. Itu sebabnya, merespon hasil Polling Pilpres 2014 dilakukan Kompasiana --- seperti ditampilkan secara dialogis di awal tulisan ini --- saya berupaya mengedepankan rasionalitas. Membuang subjektifitas pemihakan, agar terhindar dan tidak terjebak memberi respon yang emosional dan tidak proporsinal.

Terserah yang lain, mau meresponnya dengan sikap dan cara apa, seperti laiknya kita jumpai hampir di semua media belakangan ini, khususnya di media jejaring sosial. Bahkan sekian Kompasianer pun tak luput dari sikap subjektif seperti itu. Bahkan diantaranya sering-sering memberi respon soal Pilpres 2014, secara emosionil dan bahkan berlebihan. Baik penulisan maupun saat mengomentari tulisan sesama warga Kompasiana. Padahal seperti dikemukakan sebelumnya oleh para petarung sejati, sadar atau tidak, membuka ruang pada yang lain untuk mengukur siapa kita, “track record” kita dan jam terbang kita.

“Tulisanmu dan komentarmu, menjadi ukuran dan cerminan tentang siapa kamu!”

Makassar, 14 Agustus 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun