Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

China "Rampas" Wilayah Indonesia, ISDS Galang Kesadaran Kedaulatan NKRI

30 Mei 2024   14:29 Diperbarui: 30 Mei 2024   14:57 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Repro-desain pribadi Abdul Muis Syam

SEJAK Kementerian Sumber Daya Alam China secara resmi merilis Peta Standar China terbaru, pada Senin (28 Agustus 2023), sejumlah negara di Asia pun sontak jadi geger, dan bahkan ramai-ramai mengecam keras sikap Beijing yang dianggap telah "merampas" wilayah kedaulatan negara mereka.

Disebut "merampas", karena peta standar tersebut dibuat dan diterbitkan China secara diam-diam atau sepihak, dan dengan seenaknya main caplok atau mengklaim wilayah-wilayah sejumlah negara sebagai bagian dari daerah kekuasaannya. Yakni seperti India, Filipina, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Indonesia, dan bahkan menyenggol Rusia.

Dikatakan sepihak dan seenaknya main caplok, karena dalam menetapkan peta standar terbarunya itu, China dianggap telah "menabrak" norma atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.

Dan satu-satunya yang menjadi landasan China mematok atau mengklaim wilayah-wilayah milik negara lain sebagai teritorialnya itu, yakni hanya berdasar pada "ukuran" klasik historical background yang selama ini "dianut" China dengan sebutan "Nine Dash Line" atau Sembilan Garis Putus-putus. Bahkan terakhir, dalam Peta Standar China 2023 itu, dikabarkan malah telah menjadi "Sepuluh Garis Putus-putus" (Ten Dash Line) berbentuk huruf U, yakni dengan menambah atau memasukkan kawasan laut bagian Timur Taiwan.

Sungguh, di mata China, Nine Dash Line tersebut seolah telah menjadi asas mutlak yang tak bisa lagi digugurkan dengan ketentuan hukum dari mana pun. Terbukti, selain menepis konvensi UNCLOS 1982, China juga bahkan menolak putusan sengketa yang memenangkan gugatan Filipina di Pengadilan Arbitrase Permanen atau Permanent Court of Arbitration (PCA), 2016 di Den-Haag, yang memutuskan bahwa klaim China terhadap perairan Laut China Selatan (LCS) dalam bentuk "Nine Dash Line" itu, tidak memiliki landasan hukum internasional.

Artinya, China yang mestinya manut terhadap Konvensi PBB UNCLOS 1982 sebagai kesepakatan bersama, dan juga diharapkan dapat mematuhi putusan PCA 2016 itu, nyatanya memperlihatkan sikap tak mau tunduk. Yakni, dengan tetap bersikeras memakai "ukuran" klasik historical background sebagai seolah hukum tertinggi, yang justru menurut China harus dipatuhi oleh semua negara di muka bumi ini. Dan begitulah, China saat ini seolah-olah menyatakan siap menghadapi segala protes, dan bahkan perlawanan dalam bentuk peperangan bersenjata militer dari negara mana pun.

Sikap China yang dianggap sangat egois nan arogan itu, membuat negara-negara yang merasa wilayahnya dicaplok masuk secara sepihak ke dalam Peta Standar China 2023 itu pun, jadi geram. Lalu, akan mengalami frustrasi hebat lantaran hak-hak kedaulatannya merasa diinjak-injak oleh China.

Sehingga jika opsi solusi damai tak mampu dilahirkan, maka bisa ditebak bahwa akibat dari "drama" geopolitik yang "diaduk-aduk" oleh China tersebut, tentunya hanya membuat sejumlah negara seperti India, Taiwan, Vietnam, Filipina akan memastikan diri masuk dalam pusaran bayang-bayang nyata Perang Dunia III, dengan melibatkan sejumlah negara lainnya di antaranya Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris.

Lalu bagaimana sikap Indonesia yang wilayahnya juga ikut "dirampas" China melalui Ten Dash Line dengan "menggenggam" sekitar 30 persen Laut Natuna Utara?

Sebagai salah satu negara yang termasuk dalam organisasi Gerakan Non Blok (GNB), membuat Pemerintah Indonesia saat ini pun belum memperlihatkan reaksi keras terhadap persoalan peta terbaru China yang kini menyerupai seekor burung terbang itu. Yakni dengan sayap yang seolah "mengepak-ngepak" India, kaki yang "mencengkeram" Vietnam, ekornya di Laut China Selatan seolah "mengibas-ngibas" Indonesia dengan Malaysia dan Brunei Darussalam, serta dengan tunggirnya yang "menabrak" Filipina dan Taiwan.

Kendati ikut menyatakan menolak klaim sepihak China tersebut, dan meski Presiden Joko Widodo juga sudah sempat melontarkan ketegasan bahwa tidak akan tawar-menawar terhadap ancaman kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun sikap Pemerintah Indonesia hingga saat ini tetap masih menempatkan diri sebagai negara non-blok yang bebas aktif, dengan tetap berupaya melakukan upaya pendekatan damai. Salah satunya adalah diketahui belum lama ini, Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan Republik Indonesia telah melakukan kunjungan ke China dan juga ke Amerika Serikat, yakni dalam rangka lebih mempererat hubungan persahabatan dan kerja sama di bidang pertahanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun