Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada DKI: Idul Adha, Parpol dan Rizal Ramli

12 September 2016   21:27 Diperbarui: 12 September 2016   21:35 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BARUsaja, Senin (12 September 2016) ini, seluruh umat Muslim di muka bumi ini telah merayakan hari besar Idul Adha dengan penuh sukacita. Takbir bersahut-sahutan dan dikumandangkan di seluruh jagat raya sebagai bentuk pengakuan kehambaan manusia di hadapan Allah, Tuhan Maha Besar Sang Maha Kuasa Pemilik seluruh alam semesta ini.

Dan perayaan Idul Adha kali ini terasa sangat menarik dan istimewa, sebab pada September ini juga (19-21 September 2016) khusus warga Ibukota DKI Jakarta melalui parpol-parpol, akan menyodorkan (mendaftarkan) nama-nama calon pasangan gubernur ke KPUD Jakarta, yang selanjutnya akan dipilih dalam Pilkada Februari 2017 mendatang.

Sehingga itu, sebelum terlanjur memajukan (mendaftarkan) apalagi melahirkan pasangan gubernur, maka momentum Idul Adha yang baru saja ditunaikan itu hendaknya dapat dengan sungguh-sungguh diserap hikmahnya terutama bagi para parpol dan juga segenap warga DKI Jakarta.

Beberapa hikmah Idul Adha dimaksud yang dapat diimplementasikan dalam kaitan Pilkada Gubernur DKI Jakarta tersebut, yakni pertama, para partai politik (parpol) hendaknya mampu berkorban (mengorbankan) kepentingan (selera) partainya. Yaitu, dengan tidak memaksakan diri memajukan seorang sosok dari internal partainya ketika tahu ada sosok lain yang lebih dikehendaki oleh sebagian besar rakyat.

Hikmah tersebut tercermin ketika Nabi Ibrahim a.s mendapat perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya (Nabi Ismail a.s). Di satu sisi, mimpi seorang nabi adalah sebuah hak (kebenaran), dan di sisi lain secara pribadi jika ingin ditanya Nabi Ibrahim tentu menghendaki tidak ingin samasekali anaknya yang disembelih. Namun karena perintah Allah, maka Nabi Ibrahim a.s dengan ketakwaan, keteguhan dan kesabaran yang tinggi, tak bisa tawar-menawar dengan apa yang dikehendaki oleh Allah.

Kedua, para parpol dan rakyat hendaknya secara tegas menghindari diri untuk jangan sampai mengusung dan memilih pemimpin berwajah malaikat tetapi berhati (berkelakuan) seperti binatang atau hewan, misalnya pemimpin yang bertindak semena-mena dan membabi-buta menindas serta melawan kehendak rakyat.

Hikmah ini terkandung dalam proses penyembelihan hewan yang memunculkan sebuah “pesan”, bahwa berkurban dengan hewan atau binatang memberikan makna untuk manusia (terutama kaum muslim) yaitu membuang sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, seperti rakus (serakah), kejam, ambisi yang tak terkendali, menyerang, menindas, dan tidak patuh pada aturan. Sifat-sifat binatang seperti inilah yang harus ditiadakan melalui “peringatan” penyembelihan hewan kurban demi mencapai keridaan Sang Khalik.

Sehingga itu, peristiwa melaksanakan perintah Allah pada detik-detik Nabi Ibrahim a.s yang telah menghunuskan pisaunya untuk menyembelih anaknya, tiba-tiba Allah menggantinya dengan seekor kambing gibas, adalah mengandung “pesan” bahwa yang disembelih tidak boleh manusia, tetapi sifat-sifat kebinatangan yang ada pada tiap diri manusia.

“Pesan” berikutnya yaitu, daging hasil penyembelihan hewan kurban tersebut dibagi-bagikan kepada saudara, kerabat, tetangga dan fakir-miskin adalah sebuah sifat manusia yang sesungguhnya dan harus dipertahankan untuk kebaikan sesama manusia.

Dengan berbagi, maka seseorang telah meringankan beban orang lain, membela orang-orang yang lemah, dan mengangkat derajat kemanusiaan.

Jika seseorang kerap menunaikan kurban (menyembelih hewan di hari Idul Adha) namun sifat dan kelakuannya tetap menyerupai binatang atau hewan, maka yang bersangkutan menunaikan kurbannya hanya sebatas seremoni, boleh jadi karena ingin mendapat pujian atau kedudukan di mata orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun