Berkurban harus dilakukan dengan rasa ketakwaan terhadap Tuhan, sehingga akan mampu dilakukan secara penuh keikhlasan. Di luar itu, diyakini Tuhan tak akan rida dan takkan memberi keberkahanNYA.
Yang ketiga, hikmah Idul Adha yang sangat patut diimplementasikan oleh para parpol dan warga DKI Jakarta sebelum mendaftarkan (mengusung atau mendukung) dan memilih pasangan calon gubernur DKI Jakarta adalah, yaitu sebuah kesadaran penuh yang tak bisa ditawar-tawar bahwa sosok yang sangat layak dijadikan pemimpin adalah sosok yang telah mampu membuktikan diri sejak dulu (tanpa lelah) senantiasa rela berkorban dan mempertaruhkan jabatannya demi membela kehendak (kepentingan) rakyat. Sebagaimana Nabi Ibrahim a.s yang rela mengorbankan anaknya demi memenuhi kehendak (perintah) Allah.
Secara jujur, dalam kaitan hikmah ketiga ini, Rizal Ramli (dari semua sosok bakal cagub DKI yang ada) adalah satu-satunya sosok yang banyak membuktikan diri rela berkorban demi membela dan memenuhi kehendak rakyat.
Dan mengenai hal ini bisa kembali ditengok jejak Rizal Ramli yang memang sejak dulu senantiasa berdiri paling depan serta bersuara lantang demi memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat, baik ketika berada di luar maupun pada saat di dalam pemerintahan. Kalau para sosok bakal cagub lainnya belum ada seperti ini.
Yang ada justru terdapat sosok lain (di luar bacagub) ketika masih di luar pemerintahan ia sangat aktif bersuara lantang atas nama rakyat, namun ketika di tarik masuk dalam pemerintahan (misalnya di dalam sebuah BUMN) ia diam sejuta bahasa. Dan tipe sosok seperti ini sangat jelas takut kehilangan jabatan atau kedudukan.
Intinya, Rizal Ramli bukanlah sosok yang diperbudak oleh jabatan sehingga ia tidak takut kehilangan kedudukan. Baginya, jabatan atau kedudukan di dalam pemerintahan adalah sebuah pengabdian untuk tidak mengkhianati rakyat.
Padahal jika mau, Rizal Ramli boleh saja duduk-duduk diam dan tenang menikmati jabatan “basahnya”, dan boleh saja tak usah banyak cincong demi mengamankan kedudukannya tersebut. Dan bahkan jika tak menghiraukan nasib rakyat, Rizal Ramli ketika di dalam pemerintahan boleh saja menjalankan ‘prinsip berbisnis’: “Haiyya, Cincai... lah! Atul sikik-sikik... Situ senang, owe tenang!”. Tapi sekali lagi, semua ini sangat sulit dan tak tega dilakukan oleh seorang Rizal Ramli yang memang sejak dulu rela berkorban (mempertaruhkan jabatannya) demi membela kepentingan rakyat, terutama rakyat miskin yang tertindas.
Lihat saja ketika Rizal Ramli masih sebagai aktivis mahasiswa di masa lalu. Ia dengan giat dan tegasnya tampil membela dan memperjuangkan nasib rakyat, meski harus berkorban dengan cara dipenjara oleh Rezim Orba ketika itu.
Juga ketika menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT. Semen Gresik (sebuah jabatan “basah di tempat basah”). Kalau orang lain dengan posisi atau jabatan seperti itu, bisa dipastikan tidak akan ingin “macam-macam”, dan tentu lebih memilih untuk duduk diam tenang-tenang menikmati fasilitas berlimpah dari negara.
Namun bagi Rizal Ramli, meski dengan jabatan basah sebagai presiden komisaris seperti itu, ia toh senantiasa kokoh dan teguh untuk tetap memilih berpihak kepada rakyat (terutama di lapisan bawah). Dan memang ia kemudian dipecat dari jabatannya tersebut, yakni beberapa hari seusai bergabung bersama rakyat dalam sebuah aksi unju-rasa menolak kenaikan harga BBM dan mendesak pemerintah agar segera menurunkan harga sembako, Mei 2008 silam.
Tidak hanya sampai di situ, terakhir, jabatan “basah” (strategis) Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya terpaksa kembali rela ia korbankan demi membela rakyat tertindas dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta. Dan pencopotan Rizal Ramli tersebut sekaligus “menghentikan perlawanan” rakyat miskin yang tertindas di Jakarta.