Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Rizal Ramli Disingkirkan, Rakyat Dipaksa "Berebut Tulang"

9 Agustus 2016   10:04 Diperbarui: 9 Agustus 2016   10:22 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBELUM terjadi perombakan Kabinet Kerja Jilid 2, Warga DKI Jakarta (terutama kalangan menengah ke bawah) masih “meraba-raba” siapa-siapa figur yang layak mereka dukung untuk dipilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Namun sesaat setelah Jokowi usai mencopot Rizal Ramli pada reshuffle Kabinet Jilid 2, maka sebagian besar warga DKI Jakarta pun berbondong-bondong menyuarakan dukungannya kepada Rizal Ramli untuk dimajukan sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang.

Mereka meyakini, bahwa hanya sosok Rizal Ramli yang paling cocok memimpin DKI Jakarta. Sebab, sebagai ibukota negara, Jakarta punya masyarakat multikultural yang terdiri banyak golongan, sehingga Rizal Ramli yang dianggap sebagai “titisan” Gus Dur sebagai penganut pluralisme sangat layak dipilih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Pluralisme adalah sebuah kerangka atau keadaan masyarakat majemuk (secara sosial dan politik) yang di dalamnya terdapat interaksi semua kelompok yang mengutamakan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup berdampingan secara damai (koeksistensi) tanpa membuahkan air-mata dan tanpa konflik asimilasi. Sehingga itu kaum Pluralisme adalah kaum yang sangat tegas menolak praktik dan cara-cara penindasan di dalam seluruh lapisan kehidupan masyarakat.

Dan itulah yang menjelaskan mengapa Rizal Ramli di mana saja kerap “berteriak” ketika melihat dan menemui indikasi “penindasan”. Korupsi, kolusi, nepotisme, pejabat kongkalikong, otoriter, dan lain sebagainya adalah termasuk penindasan.

Sayangnya, “teriakan-teriakan” Rizal Ramli tersebut oleh sejumlah pihak tertentu (bahkan termasuk pemerintahan Jokowi) memandang sebagai sebuah kegaduhan, dan Rizal Ramli dituding tak mampu membahas persoalan itu di dalam rapat kabinet.

Tapi apa mungkin orang sekelas Rizal Ramli yang telah pernah menjadi Menko Perekonomian, juga Menteri Keuangan di era Gus Dur, dan pernah menjadi penasehat ekonomi di badan dunia PBB, disebut tak bisa menempuh dan tak mampu membahas persoalan di dalam rapat kabinet? Rasanya tak masuk akal jika Rizal Ramli berteriak tanpa  ada apa-apanya (tanpa mencium adanya indikasi penyimpangan)!?!

Sampai itu, di mata sebagian besar rakyat memandang, bahwa Rizal Ramli melakukan semua itu adalah semata agar pemerintahan ini tidak dijalankan dengan warna penindasan apapun. Sebab, bukankah penindasan adalah pula bagian dari penjajahan? Jika demikian, Rizal Ramli “berteriak” dan melakukan perlawanan selama ini adalah tidak keliru, sebab itu semata demi menegakkan UUD 1945.

Yakni, bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.

Penjajahan yang dimaksud tentu saja bukan hanya berupa invasi militer seperti yang telah digencarkan oleh para kolonialis di zaman penjajahan di masa silam. Tetapi untuk di masa kini penjajahan dan penindasan gaya baru, seperti korupsi (KKN), pejabat kongkalikong, otoriter, dsb, juga sangat layak untuk harus segera dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Namun sayang sejuta sayang, Rizal Ramli malah harus dicopot di saat begitu getolnya memperjuangkan misi-visi dan jatidiri PDIP sebagai partainya wong cilik, yakni dengan melakukan perlawanan kepada “para penjajah” (kaum neoliberalisme, neokapitalisme, neofeodalisme) yang telah banyak menggerogoti negeri ini dengan bercokol di dalam pemerintahan saat ini.

Dan sangat boleh ditebak, bahwa sosok “penjajah” itu adalah Jusuf Kalla (JK) yang kini sebagai wapres pendamping  Jokowi.

Sebab, sejak Rizal Ramli ditarik masuk ke dalam lingkungan kabinet, pergerakan kelompok perusahaan keluarga JK  tiba-tiba menjadi tidak leluasa dan tidak nyaman oleh “teriakan-teriakan” yang dilakukan oleh Rizal Ramli. Sampai-sampai JK tak jarang memperlihatkan kemurkaannya terhadap Rizal Ramli.

Saking murkanya, JK pernah mengancam secara keras Presiden Jokowi agar segera melakukan reshuffle kabinet jilid 2 dengan segera memberhentikan dan mengeluarkan Rizal Ramli dari lingkungan pemerintahan. “Pilih saya atau dia (Rizal Ramli),” lontar JK seperti yang disampaikan oleh orang dekat JK.

Dan hebatnya, JK kemudian mengajukan nama mantan Cawapres-nya yang pernah mendampinginya pada Pilpres 2009 sebagai  pengganti Rizal Ramli. Hebat, bukan...???

Wahh.... Jangan-jangan JK pula yang memerintahkan Hanura, Golkar dan Nasdem untuk mengusung Ahok sebagai Cagub DKI...???

Jika demikian, boleh jadi sejak awal JK memang telah membangun persekongkolan “gelap” dengan pihak pengembang (kapitalis) untuk “menindas” (menguasai) negeri ini?

Jika memang demikian, maka tak keliru rasanya di awal-awal sebelum Pilpres 2014 saya (pernah) menuliskan artikel dugaan adanya bandar politik dari “grup Taipan” yang siap menyodorkan Rp. 2 Triliun kepada Jokowi asalkan menjadikan JK sebagai Cawapres pada Pilpres 2014???

Kalau saja semua itu benar, maka pantas saja Jokowi sebagai presiden (sang kepala negara itu) mau-maunya “tunduk” pada kehendak serta “selera” seorang wapres dan seorang gubernur untuk melengserkan Rizal Ramli, yakni dengan mengangkat satu alasan karena kerap bikin gaduh.

Sekiranya demikian, maka sungguh rezim ini lebih kejam dari rezim Orde Baru. Di mana rasa-rasanya rezim Orde Baru masih mampu memberikan “sepotong kecil daging” kepada rakyatnya.

Namun pada rezim ini di saat sosok seperti Rizal Ramli sedang gesitnya berjuangkan untuk rakyat agar bisa mendapatkan “setumpuk daging” yang menjadi haknya sebagai pemilik kedaulatan di negeri ini, malah dicopot begitu saja.

Dan semua penggambaran di atas seolah-olah menerangkan, bahwa rezim ini memaksa rakyat untuk hanya berebut “tulang” setelah dagingnya sudah dilahap lebih dulu oleh “para penjajah dan para mafia” yang kini masih bercokol di dalam pemerintahan saat ini.

Tentang rakyat yang hanya dipaksa berebut “tulang” sepertinya akan masih berlanjut pasca dicopotnya Rizal Ramli.

Yakni, ketika parpol-parpol lebih tertarik “berebut daging” dengan hanya ingin mengusung figur-figur yang berkantong tebal, lalu menutup telinga terhadap suara dan aspirasi sebagian besar warga DKI Jakarta yang murni menghendaki Rizal Ramli maju pada Pilkada DKI 2017.

Dan di saat sebagian besar warga DKI Jakarta meyakini Rizal Ramli adalah satu-satunya sosok pesaing kuat bagi Cagub petahana; juga di saat sebagian besar warga DKI percaya bahwa Rizal Ramli adalah sosok Pluralisme yang sangat tepat memimpin Jakarta yang multikultur ini, namun di belakangan parpol-parpol kemudian hanya mengusung figur lain yang lebih mampu menyediakan “seonggok daging”, maka sekali lagi rakyat di saat itu lagi-lagi kembali hanya dipaksa untuk berebut tulang.

Kekuatiran itu boleh saja terjadi, sebab tidak menutup kemungkinan para cukong dan bandar politik kembali siap menggelontorkan dana jumbo kepada parpol-parpol yang ada untuk tidak menerima dan mengusung Rizal Ramli sebagai Calon Gubernur demi memuluskan kemenangan cagub petahana. RAKYAT JANGAN MAU!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun