Presiden SBY menyatakan, kolusi atau campur-aduk penguasa dan pengusaha merupakan biang kehancuran bangsa dan negara. sumber
Pandangan tersebut sama dan sebangun dengan pemikiran seorang pemenang Nobel Ekonomi, Mancur Olson. Pada awal 1980-an, Olson mengembangkan teori tindakan kolektif dalam rangka menjelaskan jatuh dan bangunnya suatu bangsa (The Rise and Decline of Nations).
Dalam buku tersebut, Olson membahas teori tindakan kolektif dalam kaitan hubungan pengusaha dengan penguasa. Dicari sebab-musababnya, mengapa suatu negara mengalami kemunduran, sementara negara-negara lainnya justru tidak mengalaminya.
Dari pemikirannya, Olson pun menemukan satu faktor utama yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa, yakni gangguan koalisi pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam sistem kelembagaan negara. sumber
Kebijakan yang lahir dari proses lobi kolusif seperti ini bisa mengalami komplikasi dan mengalami disorientasi tujuan untuk melakukan efisiensi dalam ekonomi. Kelompok ini dan birokrasi yang dipengaruhinya cenderung menjadi proteksionis, oligopoli-monopoli, dan antipersaingan sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengacaukan dinamika sistem internal.
Dan manfaat lobi tersebut sangat besar untuk kelompok mereka sendiri, kecenderungan kebijakan seperti ini cenderung berlanjut dalam jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan hancurnya aspek efisiensi, keadilan tertindas, sampai akhirnya memukul ekonomi rakyat karena digantikan ekonomi konglomerasi. Dan ujung-ujungnya akan memunculkan Kleptokrasi (“pemerintahan para maling”)
Inilah wajah ekonomi kita sebenarnya, yang diwariskan dari ekonomi Orde Baru dan cenderung telah dilanjutkan pada masa demokrasi ini. Insentif dan manfaat lobi tersebut hanya didistribusikan pada kalangan terbatas terkait dengan kelompok kecil tersebut.
Karena itu, Olson menyebut kelompok ini sebagai kelompok small distributional coalition, koalisi kecil yang melakukan lobi kepada penguasa dan mendistribusikan manfaat perburuan rente ekonominya kepada kalangan kecil pula. Namun, biaya ekonomi dan sosialnya tersebar ke seluruh sistem sosial ekonomi dan masyarakat luas.
Di sini aspek keadilan ekonomi tak terwujud karena tertutup ekonomi konglomerasi. Ketika koalisi semakin besar dan besar, beban proteksi, beban inefisiensi, dan beban rente ekonomi jadi semakin besar. Inilah yang kemudian jadi sebab kemandekan pertumbuhan ekonomi dan kehancuran bangsa, yang dimulai dari kehancuran ekonomi kemudian menjalar pada kehancuran sosial dan politiknya, di mana elit-elit politik bisa dengan mudah lebih memilih menjadi “budak” di hadapan kelompok pengusaha-penguasa ini daripada menjadi pejuang rakyat.
Dan elit-elit politik serta para aktivis yang masih “steril” harusnya segera membenahi kondisi yang sangat “berbahaya” seperti saat ini. Yakni dengan segera membuat arsitektur hukum ekonomi, aturan main, UU dan norma yang memisahkan negara dan pasar secara baik.
Juga segera membedakan peran penguasa dan pengusaha, serta tidak mencampuradukkannya. Hukum ekonomi harus diimplementasikan secara detail dan cermat di setiap sudut sistem pemerintahan. Titik kritis ekonomi Orba berakar dari permasalahan ekonomi politik ini. Kehancuran ekonomi Orba tak lain berakar dari campur-aduk peranan penguasa dan pengusaha, hukum ekonomi lemah, dan tak ada aturan main pemisahan penguasa dan pengusaha.