Wahai... istriku yang amat kucintai, Gamar Alhasni,
aku bukan tipe suami yang gemar membisu dan hanya bungkam ketika tahu engkau sebagai istri yang aku sayangi melakukan kesalahan, sampai itu aku jadi penulis yang sangat kritis demi memperbaiki setiap kesalahan.
Tetapi, aku yang begitu tegas dan kritis bukan berarti tidak doyan humor.
Sayangku.. engkau sangat tahu, bahwa sepanjang hari tak mengenal siang-malam ulahku kerap kusengaja menyerupai orang super tolol hanya demi membuatmu tertawa, dan memang perutmu tak pernah bisa menahan tawa.
Lalu nikmat Tuhan yang manakah kamu dustakan?
Duhai.. Gamar Alhasni istriku terkasih, dengarlah,
sungguh aku ingin membuatmu terhormat di mata orang banyak, dan bahkan menjadi istri mulia di hadapan Tuhan. Sampai itu aku tak ingin diam ketika engkau melakukan kesalahan-kesalahan, sebab engkau adalah istriku sekaligus tanggungjawabku di akhirat nanti.
Dan sayangku, engkau pun sangat tahu itu, bahwa setiap engkau berbuat kesalahan, pasti aku bertindak,
mulai secara lembut, tegas hingga keras meninggi (menggertak), semuanya adalah demi kebaikanmu, terutama kebaikan rumah tangga kita.
Sayangnya.., dan betapa ku sangat bersedih, sebab meski dirimu di Jumat petang itu sadar lagi-lagi melakukan kesalahan, namun sedikitpun engkau tak memohon maaf saat kulontarkan nasehat-nasehat ketegasan, malah engkau meladeniku seolah-olah tak melakukan kesalahan.
Sayangku... ketahuilah, karena di Jumat petang itu dirimu tetap tak tergerak untuk meminta maaf, maka terpaksa akupun meninggikan ketegasanku, mengusirmu!
Dan jujur aku memang mengusirmu, namun di saat bersamaan aku menunggu permohonan maafmu. Tetapi itu sama sekali tidak engkau lakukan. Malah benar-benar berkemas lalu pergi.
Dan yang membuatku bertambah sedih, adalah ketika engkau sampaikan kepada orang-orang, bahwa akulah yang mengantar tas kopermu hingga ke atas bentor, engkau juga membeberkan bahwa aku telah melontarkan kata cerai. Bahkan engkau katakan bahwa ini karena aku ingin kawin lagi.
Sayangku.., betapa teganya dirimu memfitnah diriku seperti itu.
Gamar Alhasni cintaku..., dengan fitnah seperti yang engkau beberkan itu, betapa buruknya kini diriku di matamu dan di hadapan orang lain, tapi pasti tidak di mata Tuhan.
Tas koper itu memang aku yang angkat,
namun hanya sampai tepat di pagar rumah bagian dalam, sebab di titik itu aku masih menunggu kata maaf darimu. Namun ternyata, engkau baru bisa berkata maaf ketika pamitan, dan minta mencium tanganku, yakni di saat koper telah diangkat oleh pengemudi bentor.
Sayangku Gamar Alhasni yang amat kucintai,
sungguh keliru dan betapa tega dirimu mengambil cara dan timing untuk memohon maaf dan mencium tanganku di saat seperti itu. Dan karena fitnah yang kau munculkan itu, membuat diriku tak mendapatkan pembelaan dari pihakmu.