(Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam)
PADA era Orde Baru (Orba), semua kebijakan pemerintah harus sesuai dengan kemauan sang penguasa. Artinya, kebijakan-kebijakan rezim Orba semuanya hanya bisa disusun dan diyakini mendapat restu dari pemerintah apabila sesuai dengan kehendak dan selera sang penguasa.
Selera yang dimaksud sebagian besar adalah nilai-nilai kepentingan dan keuntungan penguasa beserta keluarga, kolega dan kelompoknya yang berkecimpung sebagai pengusaha secara monopoli dan koruptif.
Sebab, pada rezim Orba tersebut, jabatan kepemimpinan tertinggi di republik ini dijalankan oleh sang penguasa seolah-olah bagai kerajaan, sehingga anggaran atau uang negara benar-benar bagai “hak milik” yang bisa secara leluasa disedot oleh sang “raja”, dan tak ada satupun menteri (apalagi rakyat) yang bisa protes apalagi melawan.
Sampai itu rakyat, senang atau tidak, suka atau tidak, juga setuju atau tidak, dan mau tidak mau harus menerima serta tunduk terhadap ketentuan kebijakan-kebijakan tersebut.
Umumnya, kebijakan-kebijakan pada rezim tersebut dibuat seolah-olah adalah untuk kepentingan rakyat, namun sesungguhnya terselip di dalamnya kepentingan yang amat besar bagi sang penguasa. Dan meski kepentingan yang terselip itu sangat menyengat tercium, namun tak satupun yang berani protes.
Termasuk media-media massa ketika itu benar-benar tak berkutik dan bahkan ketakutan karena kerap mengalami penekanan dan intervensi yang berlebih-lebihan dari penguasa, sehingga rakyat lebih banyak hanya menerima informasi dan berita yang mengultuskan sang penguasa.
Dan sungguh, rakyat dari seluruh kalangan (baik secara personal maupun kelompok) serta media massa pada saat itu benar-benar dibungkam, diintimidasi dan bahkan ditindak secara represif oleh penguasa apabila berani membuat kegaduhan dengan cara menentang atau melakukan protes terhadap suatu kebijakan.
Namun di saat penguasa rezim Orba tersebut begitu sangat kuat menancapkan kekuasaannya secara otoriter, sejumlah kelompok intelektual yang sebagian besar berasal dari aktivis mahasiswa justru bangkit melawan.
Dan ketika menyadari munculnya aksi-aksi perlawanan yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa, rezim Orba pun buru-buru menuding para mahasiswa tersebut sebagai pembangkang (pemberontak) dan sumber kegaduhan yang patut disingkirkan.
Di situlah istilah pembangkangan dan sumber kegaduhan digunakan sebagai “senjata” awal oleh rezim Orba. Tujuannya, adalah untuk melakukan provokasi sekaligus ancaman buat seluruh rakyat agar ikut membenci pergerakan aktivis mahasiswa dan tidak turut serta melakukan pergerakan perlawanan kepada pemerintahan Orde Baru.
Tetapi istilah apapun yang ingin ditudingkan oleh rezim Orba terhadap gerakan perlawanan tersebut, gelora para aktivis mahasiswa kala itu tidaklah menjadi surut. Sebab, garis perjuangan para aktivis mahasiswa ini sangatlah jelas arahnya, yakni demi menegakkan kedaulatan dan membela hak-hak rakyat kecil.
Dan di mata rezim Orba, beberapa pimpinan aktivis mahasiswa yang sering melakukan kegaduhan karena kerap tampil di barisan terdepan dalam setiap aksi (unjuk-rasa) tahun 1977-1978 tersebut, di antaranya adalah Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Indro Tjahjono, Irzadi mirwan, Al Hilal, Ramles Manampang, Jusman SD, Joseph Manurung, Kemal Taruc, dll. Sedangkan salah seorang dosen yang juga cukup vokal bersuara pada setiap aksi tersebut adalah Wimar Witoelar.
Dengan bersatu-padu, seluruh mahasiswa ITB saat itu tak hanya melakukan aksi gerakan moral untuk “mengoreksi” penguasa rezim Orba, tetapi juga menerbitkan “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB”. Buku ini memuat data-data kajian fakta dan juga pemikiran-pemikiran untuk perbaikan bangsa.
Sayangnya, gerakan moral dan penerbitan buku putih yang salah satunya disusun dan diterjemahkan oleh Rizal Ramli ke dalam berbagai bahasa asing tersebut membuat murka penguasa Orba.
Akibatnya, para aktivis mahasiswa ini pun “digebuk” dengan kekerasan melalui operasi pendudukan Kampus ITB oleh ABRI (sekarang TNI), sehingga sejumlah pimpinan aktivis mahasiswa itu pun berhasil dijebloskan ke dalam penjara sebagai tahanan politik, seperti Rizal Ramli di tahanan Sukamiskin, Bandung.
Dan itulah sekelumit sejarah wajah rezim Orba, yang akhirnya memaksa lahirnya pergerakan aksi Rizal Ramli dan kawan-kawan sebagai aktivis mahasiswa yang tak gentar membela serta memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas di masa silam.
Lalu adakah hal serupa juga pernah dilakukan oleh Sudirman Said, Jusuf Kalla, Romo Benny, juga dengan orang-orang Freeport, Inpex, Shell atau pihak-pihak luar (asing) lainnya yang kini begitu nampak ngotot ingin menyingkirkan Rizal Ramli dengan menuding sebagai sumber kegaduhan dalam pemerintahan? Lalu setelah kiranya berhasil menyingkirkan Rizal Ramli, maka dapatkah kecemasan rakyat hilang terhadap para perampok kekayaan tambang di negeri ini?
Pertanyaan tersebut tak perlu dijawab. Sebab seobjektif apapun jawabannya, tentu tidak akan memuaskan pihak-pihak yang telah menganggap Rizal Ramli sebagai sosok penghalang, apalagi jika untuk meredakan kegaduhan yang terlanjur terjadi saat ini.
Tetapi yang jelas, jika rakyat mampu “melawan lupa”, maka tentu akan terlihat jelas bahwa kegaduhan yang dilakukan oleh Rizal Ramli sangatlah berbeda dengan bentuk kegaduhan yang ditimbulkan,- misalnya-, oleh Jusuf Kalla.
Kegaduhan yang dilakukan oleh Rizal Ramli adalah sebuah tuntutan zaman. Artinya, setiap permasalahan yang menyentuh kepentingan publik yang berusaha “ditutup-tutupi”, itu adalah bukan lagi zamannya. Sebab, di era globalisasi teknologi informasi yang begitu pesat perkembangannya seperti saat ini, maka keterbukaan menjadi hal yang tak bisa dihindari. Itu yang pertama.
Yang kedua. Sejak dulu, kegaduhan yang dimunculkan oleh Rizal Ramli jelas-jelas adalah merupakan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Coba saja tengok, apa-apa saja yang sudah “dikoreksi” oleh Rizal Ramli yang kemudian dituding sebagai kegaduhan negatif?! Mulai kegaduhan yang ditudingkan kepadanya oleh rezim Orba hingga oleh sisa-sisa loyalis rezim Orba yang masih bertahan sampai saat ini. Apakah ada kegaduhan yang berlawanan dengan kehendak rakyat? Tentu tak ada samasekali, bukan?!?
Coba kalau saja Rizal Ramli tak “bersuara” menyoroti sejumlah kebijakan yang dianggap cenderung merugikan bangsa dan negara ini, maka masyarakat belum tentu bisa tahu akan adanya kebijakan tersebut.
Sangat mengerti, dan semua orang sebetulnya tidak menolak apabila ada persoalan-persoalan yang timbul antar-menteri menyangkut tupoksi sebaiknya dibicarakan dan dibahas secara internal di dalam rapat kabinet atau sejenisnya. Namun sejak dulu juga orang tahu, bahwa bukankah rapat kabinet adalah juga merupakan cara yang dilakukan oleh rezim Orba dalam memecahkan sebuah masalah? Tetapi tengoklah bagaimana hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan oleh rezim Orba itu meski telah melalui rapat kabinet!
Sehingga, pada sisi lain semua orang pun paham, bahwa bila Rizal Ramli melakukan kegaduhan (bersuara) maka itu sesungguhnya adalah tanda adanya persoalan (kebijakan) yang upaya pemecahannya di dalam rapat kabinet justru berpotensi menaklukkan kehendak rakyat.
Dan di saat mengetahui kondisi seperti itu, sebagai mantan pimpinan aktivis mahasiswa, Rizal Ramli tentu saja tak ingin berkompromi apalagi tunduk dan mengikuti kehendak orang yang “terdeteksi” KKN. Sehingga itu, sebagai upaya untuk mendapatkan pemecahan yang pro-rakyat, Rizal Ramli pun harus memilih “bersuara” lantang guna mencari “dukungan” langsung dari rakyat atas persoalan yang menyangkut kebijakan tersebut.
Itulah kegaduhan Rizal Ramli yang sangat kental dengan warna kerakyatan dan amat jelas berkiblat untuk kepentingan seluruh bangsa dan negara ini.
Lalu seperti apa bentuk kegaduhan menonjol yang dilakukan oleh Jusuf Kalla (JK) dari dulu hingga sekarang?
Tersebutlah, ada hal dilakukan JK yang tak pernah bisa dihapus dalam sejarah, yakni ia sempat dipecat dari jabatannya sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena diyakini terlibat kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dan itulah kegaduhan yang untuk pertama kalinya terjadi di alam reformasi (pasca tumbangnya rezim Orde Baru). Artinya, jika motif pemecatan tersebut benar, maka boleh dikata JK adalah orang pertama kali yang tega mencoreng dan mengkhianati cita-cita era Reformasi.
Kegaduhan menonjol berikutnya yang pernah dilakukan oleh JK adalah jelang Pilpres 2014 pernah menuding Joko Widodo sebagai sosok yang hanya akan membuat Indonesia hancur jika dimajukan sebagai calon presiden.
“Jangan tiba-tiba karena dia (Jokowi) terkenal di Jakarta tiba-tiba dicalonkan presiden, bisa hancur negeri ini, bisa masalah negeri ini,” ungkap JK dalam sebuah wawancara.
Dan dalam wawancara tersebut, JK ketika itu seolah-olah ingin mengatakan bahwa hanya orang seperti dirinya yang cocok menjadi presiden. Sebab dalam penjelasannya itu, JK seakan-akan “menjual” dirinya untuk diakui sebagai sosok yang lebih punya track-record atau pengalaman dan karir di dalam pemerintahan. Tapi apakah pengalaman yang “dibanggakan” JK itu adalah track-recordnya mulai dari menteri yang pernah dipecat karena KKN, kemudian berhasil menjadi wapres mendampingi SBY, lalu sebagai capres gagal?
Dan sejumlah kejadian yang diakumulasi oleh seorang politikus PDIP, Masinton Pasaribu menyebutkan Wapres Jusuf Kalla sebagai pusat kegaduhan pemerintah belakangan ini.
Kegaduhan tersebut, menurut Masinton, mulai dari proyek listrik 35 ribu watt, penggeledahan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri terhadap ruangan Direktur Utama (Dirut) PT Pelindo II RJ Lino yang berujung pada “pencabutan” Komjen Budi Waseso dari jabatannya selaku Kabareskrim, serta kisruh perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Dan juga dengan masalah Blok Masela yang diduga kuat JK yang mengarahkan agar Sudirman Said tetap ngotot mempertahankan metode offshore (di laut).
“Otoritas kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan bisnis akan memunculkan kegaduhan. Di mana episentrumnya? Titik besarnya di Wapres,” ujar Masinton di sela konferensi pers Political Communication Institute di Jakarta, Minggu (20/12/2015).
Bahkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pun sempat secara terang-terangan angkat suara menyindir JK terkait kegaduhan yang terjadi di pemerintahan. “Yang berantem sekarang kan bagiannya dari Pak Kalla. Dengerin ya pak,” kritik Ibu Mega dalam sambutannya pada acara Simposium Kebangsaan Refleksi Nasional Praktek Konstitusi dan Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, di Gedung Nusantara IV, di Jakarta.
Sebelumnya, mengenai kekacauan di tubuh Partai Golkar sendiri, mantan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad pernah menuding bahwa dalang yang membuat kisruh di Munas IX adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dulunya pernah menjadi ketua umum partai. Menurut Fadel, JK tidak ingin Aburizal Bakrie (Ical) terpilih kembali menjadi ketua umum Partai Golkar.
Nah, jika ingin mencermati istilah kegaduhan yang ditudingkan pada diri Rizal Ramli maupun kegaduhan yang ditimbulkan JK dari awal hingga saat ini, maka sangat jelas perbedaan bentuk dan motif kegaduhan dari keduanya. Artinya, sangat beda kegaduhan Rizal Ramli dengan kegaduhan yang ditimbulkan oleh JK.
Olehnya itu, dengan mengetahui perbedaan tersebut, maka tak sedikit kalangan yang kini secara tegas meminta dan mendesak JK untuk sebaiknya segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wapres sebelum benar-benar jatuh atas kegaduhan yang diciptakannya sendiri.
Tetapi apabila tetap bertahan sebagai wapres dengan tetap cenderung memanfaatkan jabatannya (kekuasaannya) untuk mendulang kepentingan bisnis sebagai pengusaha, maka JK dipastikan akan terus terlibat dalam kegaduhan-kegaduhan yang justru bisa mempengaruhi dan berdampak buruk terhadap diri Presiden Jokowi. Dan apabila ini terjadi, maka JK akan semakin kehabisan “energi” juga kehormatan dan kewibawaannya akan ikut menjadi kerdil, sekaligus “ramalannya” tentang Indonesia bisa hancur di tangan Jokowi akan benar-benar terwujud. Olehnya itu, dengan segala hormat yang masih tersisa, pak JK, segeralah mundur demi kebaikan Bangsa Indonesia!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H