Tetapi istilah apapun yang ingin ditudingkan oleh rezim Orba terhadap gerakan perlawanan tersebut, gelora para aktivis mahasiswa kala itu tidaklah menjadi surut. Sebab, garis perjuangan para aktivis mahasiswa ini sangatlah jelas arahnya, yakni demi menegakkan kedaulatan dan membela hak-hak rakyat kecil.
Dan di mata rezim Orba, beberapa pimpinan aktivis mahasiswa yang sering melakukan kegaduhan karena kerap tampil di barisan terdepan dalam setiap aksi (unjuk-rasa) tahun 1977-1978 tersebut, di antaranya adalah Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Indro Tjahjono, Irzadi mirwan, Al Hilal, Ramles Manampang, Jusman SD, Joseph Manurung, Kemal Taruc, dll. Sedangkan salah seorang dosen yang juga cukup vokal bersuara pada setiap aksi tersebut adalah Wimar Witoelar.
Dengan bersatu-padu, seluruh mahasiswa ITB saat itu tak hanya melakukan aksi gerakan moral untuk “mengoreksi” penguasa rezim Orba, tetapi juga menerbitkan “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB”. Buku ini memuat data-data kajian fakta dan juga pemikiran-pemikiran untuk perbaikan bangsa.
Sayangnya, gerakan moral dan penerbitan buku putih yang salah satunya disusun dan diterjemahkan oleh Rizal Ramli ke dalam berbagai bahasa asing tersebut membuat murka penguasa Orba.
Akibatnya, para aktivis mahasiswa ini pun “digebuk” dengan kekerasan melalui operasi pendudukan Kampus ITB oleh ABRI (sekarang TNI), sehingga sejumlah pimpinan aktivis mahasiswa itu pun berhasil dijebloskan ke dalam penjara sebagai tahanan politik, seperti Rizal Ramli di tahanan Sukamiskin, Bandung.
Dan itulah sekelumit sejarah wajah rezim Orba, yang akhirnya memaksa lahirnya pergerakan aksi Rizal Ramli dan kawan-kawan sebagai aktivis mahasiswa yang tak gentar membela serta memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas di masa silam.
Lalu adakah hal serupa juga pernah dilakukan oleh Sudirman Said, Jusuf Kalla, Romo Benny, juga dengan orang-orang Freeport, Inpex, Shell atau pihak-pihak luar (asing) lainnya yang kini begitu nampak ngotot ingin menyingkirkan Rizal Ramli dengan menuding sebagai sumber kegaduhan dalam pemerintahan? Lalu setelah kiranya berhasil menyingkirkan Rizal Ramli, maka dapatkah kecemasan rakyat hilang terhadap para perampok kekayaan tambang di negeri ini?
Pertanyaan tersebut tak perlu dijawab. Sebab seobjektif apapun jawabannya, tentu tidak akan memuaskan pihak-pihak yang telah menganggap Rizal Ramli sebagai sosok penghalang, apalagi jika untuk meredakan kegaduhan yang terlanjur terjadi saat ini.
Tetapi yang jelas, jika rakyat mampu “melawan lupa”, maka tentu akan terlihat jelas bahwa kegaduhan yang dilakukan oleh Rizal Ramli sangatlah berbeda dengan bentuk kegaduhan yang ditimbulkan,- misalnya-, oleh Jusuf Kalla.
Kegaduhan yang dilakukan oleh Rizal Ramli adalah sebuah tuntutan zaman. Artinya, setiap permasalahan yang menyentuh kepentingan publik yang berusaha “ditutup-tutupi”, itu adalah bukan lagi zamannya. Sebab, di era globalisasi teknologi informasi yang begitu pesat perkembangannya seperti saat ini, maka keterbukaan menjadi hal yang tak bisa dihindari. Itu yang pertama.
Yang kedua. Sejak dulu, kegaduhan yang dimunculkan oleh Rizal Ramli jelas-jelas adalah merupakan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Coba saja tengok, apa-apa saja yang sudah “dikoreksi” oleh Rizal Ramli yang kemudian dituding sebagai kegaduhan negatif?! Mulai kegaduhan yang ditudingkan kepadanya oleh rezim Orba hingga oleh sisa-sisa loyalis rezim Orba yang masih bertahan sampai saat ini. Apakah ada kegaduhan yang berlawanan dengan kehendak rakyat? Tentu tak ada samasekali, bukan?!?
Coba kalau saja Rizal Ramli tak “bersuara” menyoroti sejumlah kebijakan yang dianggap cenderung merugikan bangsa dan negara ini, maka masyarakat belum tentu bisa tahu akan adanya kebijakan tersebut.