DAHULU ketika masih kelas 5 Sekolah Dasar (SD), saya sangat gemar menanam bawang merah, lombok kecil, tomat, jagung, bahkan padi. Selain itu, saya juga memelihara berbagai jenis ikan di kolam yang saya buat sendiri. Semuanya kugarap di pekarangan rumah.
Sebelum tidur, biasanya pukul 20.00 hingga 21.30, dan juga sebelum ke sekolah setiap pagi sekitar pukul 5.00, saya rutin memeriksa perkembangan tanaman dan ikan-ikan tersebut. Hari minggu, adalah waktu panjang yang kuhabiskan untuk berlama-lama dengan senang hati merawat tanaman serta ikan-ikan tersebut. Dan kegemaran ini berlangsung hingga kelas 2 SMP.
Kegemaranku itu membuat ayah dan ibuku banyak tersenyum dan geleng-geleng kepala. Bahkan pernah mereka bertanya sambil tertawa terbahak-bahak kepada saya, “sudah berapa ton hasil tanaman dan ikan-ikan kamu?”
Ayah ibuku memang wajar ketawa terbahak-bahak. Sebab, rumah kami hanyalah Perumnas tipe 30. Ada pekarangan samping ukurannya cuma sekitar 1 meter x 7 meter, dan pekarangan belakang hanya sekitar 3 meter x 5 meter.
Bawang merah, lombok, dan tomat, juga kolam ikan berisi ikan rawa seperti ikan gabus/toman (di daerahku namanya Kanjilo), ikan betik (di daerahku dinamai ikan Balebalang), juga ikan sepat rawa (di daerahku disebut ikan Cambang-cambang) semuanya kutempatkan di pekarangan samping. Sedangkan jagung dan padi di pekarangan belakang.
Kondisi garapan “pertanian dan perikanan” milikku itulah yang membuat ayah dan ibuku tertawa terbahak-bahak. Namun meski demikian, ayah dan ibuku pernah marah besar kepadaku.
Pasalnya, saya pernah kedapatan mengambil 2 liter beras dari dapur untuk kuberikan kepada seorang petani jagung miskin sebagai “bayaran” dari benih yang ia berikan kepadaku. Juga sempat ketahuan menjebol celenganku untuk kuberikan kepada petani padi miskin yang telah memberikanku benih dan pengetahuan tentang bertani.
Dan “kasus” ini memang telah berkali-kali kulakukan, sehingga kala itu saya ketakutan dan sempat lari menyendiri ke rumah teman, tapi tak sempat nginap karena membayangkan “ladang pertanian dan perikananku” akan diobrak-abrik oleh ayahku, namun untung saja itu tidak dilakukannya.
Tetapi sesampai di rumah, saya “disemprot” dengan kata-kata “mutiara”. Empat orang saudaraku juga ikut duduk mendengar ocehan dari bapak dan ibuku.
“Nak, bapakmu itu cuma pegawai negeri golongan rendahan, tiap bulan gaji harus dipotong, masih untung kamu bisa sekolah. Jadi tolong jangan bikin tambah susah keadaan. Belum saatnya kamu membantu orang lain, karena kita juga masih sangat sulit. Nanti kalau memang ada takdirmu jadi menteri, di saat itulah kerahkan seluruh kemampuanmu untuk membantu petani-petani, kalau perlu beri mereka gaji supaya bisa bersemangat bekerja untuk menghasilkan lebih banyak padi, rempah-rempah dan lain-lain,” ujar almarhumah ibuku semasa hidup kala itu, dan saya hanya bisa tertunduk. Sebab memang saat itu gaji ayahku sebagai PNS yang bertugas selaku pemungut retribusi sekitar 75% harus dipotong selama lebih 5 tahun sebagai sanksi atas perbuatan yang ia tidak lakukan. Saudara tirinya, sempat memakai (menjual/mencaplok) nama ayahku untuk memungut retribusi dan bahkan meminjam uang dari pemilik kios dan toko-toko di Kota Makassar, selama berbulan-bulan hasil pungutan itu ia lahap tanpa sepengetahuan ayahku.
Itulah yang menjelaskan mengapa almarhumah ibuku saat itu sesungguhnya sangat bangga namun bercampur sedih ketika mengetahui sikapku tersebut. Dan alasan itu pula yang menjelaskan mengapa ibuku selama bertahun harus menakar nasi dan lauk-pauk alakadarnya untuk disajikan kepada suami dan anak-anaknya.