Meneropong terobosan Menko Kemaritiman dan Menteri Pariwisata tentang pembentukan BOP tersebut, Prof Arif Satria selaku pengamat kelautan dan ekonomi pariwisata menilai, hal itu sebagai langkah yang bisa memecahkan kebekuan perkembangan pariwisata di daerah.
Awalnya, Arif sempat mengira bahwa pembentukan badan otorita tersebut tidak didasari kepentingan kawasan destinasi. “Bila dasarnya tidak atas kepentingan kawasan destinasi, badan tersebut memang bisa tumpang tindih (overlapp) dengan keberadaan Kemenpar. Tetapi bila konsennya kepada kawasan destinasi, badan itu saya yakini akan membuat akselesari luar biasa terhadap perkembangan pariwisata kawasan,” ungkap Prof Arif Satria yang saat ini juga sebagai Dekan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Sehingga itu, karena kehadiran BOP itu secara jelas akan konsen kepada kawasan destinasi, maka Prof Arif mendukung penuh pembentukan badan otorita tersebut untuk menggenjot kemajuan dunia pariwisata di berbagai objek wisata terpilih tersebut.
Prof Arif mengingatkan, Badan Otorita Pariwisata harus memprioritaskan kawasan destinasi wisata yang berada di daerah-daerah yang birokrasinya dinilai kurang memiliki kemampuan untuk mengembangkan destinasi wisata dengan cepat.
Menurutnya, yang seringkali menjadi persoalan dalam pengembangan pariwisata adalah mesin birokrasi. Ia mengibaratkan, mesin birokrasinya bukan bermesin ferrari, melainkan bermesin truk kuno. Sehingga, kata dia, kemacetan proses pengembangan pariwisata itu berada pada persoalan infrastruktur yang hingga saat ini masih memprihatinkan.
Olehnya itu, Prof Arif mengatakan, dengan dibentuknya Badan Otorita Pariwisata ini tentu akan mampu membereskan secepatnya persoalan-persoalan infrastruktur tersebut asalkan badan (BOP) ini komit untuk tetap fokus destinasi dan memprioritaskan infrastruktur. Ia bahkan mengaku optimistis terhadap BOP akan mampu menjadi katalisator pengembangan destinasi wisata di berbagai daerah di Indonesia.
Namun secara khusus, Prof Arif mengusulkan, bahwa sebaiknya dua kawasan wisata harus diprioritaskan penanganannya oleh badan ini, yakni Raja Ampat dan Pulau Komodo. “Kalau dikembangkan sungguh-sungguh dan sitematis, Raja Ampat (di Papua Barat) punya peluang besar mengungguli Maladewa (Maldives),” ungkap Prof Arif.
Sekadar diketahui, bahwa Maladewa adalah sebuah negara kecil dengan menjadikan Pariwisata sebagai sektor paling utama (unggulan) dalam menghidupi warganya. Bahkan karena kesuksesannya mengelola pariwisata, penghasilan orang Maladewa kini normalnya mencapai Rp. 140 Juta per-tahun atau sekitar Rp. 12 juta per-bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H