Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengpeng Lebih Berbahaya Daripada Teroris?

19 Januari 2016   16:15 Diperbarui: 19 Januari 2016   16:15 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


(Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam)

PENGPENG adalah penguasa (pejabat) sekaligus pengusaha (pedagang). Dan meski istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli, tetapi sebetulnya “karakter” ganda ini sudah lama menjadi  “monster” bagi rakyat karena memiliki “nafsu” yang sangat besar dalam mengejar kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.

Misalnya, “melahap” anggaran negara secara monopoli melalui proyek-proyek atau dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berbau “komersial”, juga “memperjual-belikan”  atau menyerahkan pengelolaan kekayaan alam negeri kepada asing untuk mendapatkan keuntungan bisnis sebesar-besarnya bagi perusahaan keluarga atau kelompoknya, dan lain sebagainya, adalah hal-hal yang sangat gampang dilakukan oleh seorang pengusaha (pedagang) yang bertahta di atas kursi kekuasaan.

Contohnya, di era Orde Baru keluarga (anak-anak, saudara, dan kerabat) Soeharto sangat leluasa mengendalikan (menguasai) dan mengatur-atur proyek-proyek yang dibiayai oleh negara. Mereka (keluarga Cendana) begitu mudahnya mengendalikan dan menjalankan banyak bisnis demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dan kala itu, pihak-pihak lain (apalagi rakyat biasa) sama sekali tak diberi hak untuk protes dan intervensi apalagi untuk mau menghalang-halangi “nafsu” bisnis keluarga Presiden Soeharto tersebut. Jika ada yang berani, pasti langsung “dibabat”.

Tetapi pada akhirnya, rakyat pun gerah dan murka terhadap  “profesi Pengpeng” yang digeluti secara “jiwa dan raga” oleh keluarga Cendana tersebut, sehingga kemudian inilah pula yang membuat kekuasaan Soeharto tumbang.

Namun betapa sangat aneh bin ajaib, di era Reformasi (yang anti Orde Baru) ini justru Pengpeng kembali berjaya. Sungguh sangat ironi..?!?! Sekaligus sangat menyedihkan! Cucuran keringat dan bahkan darah para pejuang reformasi (terutama Mahasiswa) yang rela berkorban demi lahirnya era Reformasi, nyatanya saat ini seakan hanya menjadi “minuman pembangkit energi para vampir Orde Baru”, yakni para Pengpeng.

Coba lihat saja saat ini, betapa “wajah” Reformasi sungguh  sangat kusam dan pucat serta lemas tak berdaya karena telah menjadi pengalas kaki para Pengpeng. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme makin merajalela di mana-mana. Nadi ekonomi kerakyatan dan denyut jantung Trisakti disumbat oleh “Trio Neo”, yakni kaum Neoliberalisme, Neofeodalisme dan kaum Neokolonialisme.

Dan perlu diingat betul-betul, bahwa Trio Neo sebagai bentuk sifat dan paham (aliran) itu umumnya bercokol di dalam hati dan jiwa para Pengpeng. Coba tengok penjajah yang pernah menjajah negeri ini, seperti Belanda yang mendirikan VOC.

Di samping bertindak sebagai penguasa, Belanda juga mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)  dengan maksud  menjalankan kongsi (persekutuan) dagang guna melakukan monopoli aktivitas perdagangan di Asia. Di saat itu, rakyat Indonesia benar-benar kehilangan hak-haknya. Rakyat bahkan diperas habis-habisan, tenaga, dan bahkan diwajibkan membayar pajak serta upeti.

Sebagai pencerahan, mari sedikit menengok sejarah. Jika dulu ada pemerintah Belanda (penjajah/penguasa)  dengan VOC-nya, maka sekarang ada Pengpeng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun