Atau dengan kata lain, jika tak ada “lembaga” mahkamah kehormatan yang bisa menggelar “sidang” secara langsung dan cepat terhadap pejabat negara (eksekutif) yang juga diduga telah melakukan pelanggaran hukum dan etika (seperti yang dialami Setnov), maka negara ini boleh dikata sedang melakukan pembiaran kepada para pejabat negara (eksekutif) untuk leluasa melakukan pelanggaran etika dan hukum.
Artinya, ketika anggota dewan diduga melakukan pelanggaran, di sana ada MKD yang bisa langsung bertindak secara cepat. Tetapi jika pejabat negara (eksekutif) melakukan pelanggaran yang sama, tidak ada “mahkamah kehormatan” yang bisa cepat dan langsung menindakinya. Tentu saja ini tidak adil!
Tidak adanya mahkamah kehormatan di lingkungan pemerintah (eksekutif), membuat para pejabat tersebut merasa dapat berbuat apa saja, termasuk berbisnis atau dengan cara mengeluarkan kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan pribadi dan kelompoknya saja.
Tengok saja ulah SS. Pejabat yang dinilai sebagai “menteri emas” Wapres JK itu betapa tampak sangat tergopoh-gopoh dan bernafsunya ingin melakukan perpanjangan kontrak Freeport, meski harus menabrak aturan dan undang-undang, namun samasekali ia tak bisa “diadili” seperti halnya dengan Setnov di MKD hingga harus mengundurkan diri.
Dan coba pula tengok, begitu sangat mudah dan leluasanya kelompok atau keluarga JK memonopoli proyek-proyek raksasa, dan betapa sangat mulus mendapatkan proyek bernilai triliunan, bagai melaju di atas jalan bebas hambatan. Kenapa? Karena tak ada Mahkamah Kehormatan di lingkungan pejabat (eksekutif).
Kelompok (keluarga) usaha JK begitu sangat terang benderang memainkan jurus aji-mumpung. Yakni memanfaatkan jabatan JK sebagai wapres untuk menyedot APBN sebanyak-banyaknya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui bisnis proyek-proyek raksasa. Dan tentu saja ini sangat dapat dikategorikan sebagai kolusi dan nepotisme, yang ujung-ujungnya akan sangat berpotensi menjelma sebagai korupsi.
Dan hal itulah yang sangat diperangi oleh Rizal Ramli hingga harus mengepret (mengkritik) pejabat siapapun, termasuk JK, agar tidak mengabaikan kepentingan rakyat lalu mengutamakan kepentingan kelompok dengan cara mencampur-adukkan atribut JK sebagai penguasa sekaligus pengusaha.
Bukan hanya Rizal Ramli, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, politisi PDI-P Masinton Pasaribu dan banyak pihak lainnya yang dengan tegas menyatakan bahwa Wapres JK telah banyak menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan bisnis.
Memang, jika JK tetap menjabat Wapres maka bisa dipastikan kelompok dan grup usaha keluarganya akan selalu mendapat prioritas proyek-proyek raksasa. Juga akan mendatangkan kecemburuan sosial di tingkat para pengusaha lainnya karena terjadi monopoli dan persaingan yang tidak fair. Dan yang lebih memprihatinkan, JK yang diberi amanah oleh rakyat dalam usianya yang sudah tua itu nampaknya lebih cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan kelompoknya saja.
Lihat saja, sejak dulu dan sampai akhir-akhir ini JK tampak sering terlibat dalam pusaran konflik kepentingan. JK bahkan sangat sulit menerima kritik serta menolak disebut wapres “pengpeng” (Penguasa Pengusaha). Padahal semua orang juga tahu bahwa JK memang pejabat yang berlabel “pengpeng”. Yakni penguasa sekaligus pengusaha yang lebih cenderung berbisnis di dalam negara untuk meraih keuntungan kelompok bisnisnya.
Maka tak salah kiranya jika Menko Kemaritiman Rizal Ramli dengan sangat tegas mengatakan, bahwa pejabat yang rangkap sebagai pengusaha (pengpeng) sangat bisa merugikan negara dan rakyat, juga mengkhianati amanah Reformasi.