(Ilustrasi: Abdul Muis Syam)
PERNAH dengar istilah: “Cinta Ditolak, Dukun Bertindak”? Ya, kurang-lebih, seperti itulah situasi pada belantika di pemerintahan saat ini (coba dicek kembali arti ‘belantika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia!).
Jika sudah dicek, maka rangkaian kalimatnya akan menjadi: ... Ya, seperti itulah situasi pada usaha dagang atau jasa dalam dunia “permusikan” di pemerintahan saat ini. Yakni: Kena “Kepret”, Provokator Bertindak.
Dari kalimat di atas, kata permusikan bertanda kutip. Maknanya, bahwa terdapat sejumlah pejabat negara yang kini sedang “menjual” (mengeluarkan) kebijakan-kebijkan atau program yang kedengarannya “merdu” tetapi jika diamati iramanya tidaklah “stereo”, dan “syairnya” kurang menyentuh serta dinilai tidak realistis.
Apabila “lagu-lagu atau musik” ini diproduksi lalu dijual, maka akan mendatangkan kerugian besar dan hanya cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Artinya, saat ini terdapat kebijakan-kebijakan dari sejumlah pejabat negara yang sekilas kelihatan dan kedengarannya cukup “mulia”, tetapi jika dicermati kebijakan tersebut cenderung akan menimbulkan kerugian besar bagi bangsa juga negara, baik yang sedang dilaksanakan maupun yang baru dalam tahap perencanaan.
Dan apabila kebijakan-kebijakan tersebut dipaksakan untuk dijalankan atau tetap akan dipertahankan pelaksanaannya, maka patut diduga sejumlah pejabat negara itu sedang melakukan bisnis, alias mencari keuntungan bisnis besar dari balik kewenangan dan kekuasaannya.
Kemudian, jika demikian adanya pejabat negara seperti itu, maka sungguh luar biasa serakahnya. Sebab, sudah diberi tempat terhormat dengan gaji tinggi dari rakyat serta diberi fasilitas serba mewah dari negara, malah kini bernafsu merampok rakyat dan negaranya.
Dan patut dicatat tebal-tebal, bahwa ulah pejabat negara seperti ini sebetulnya banyak berserakan di daerah-daerah, yakni memanfaatkan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan bisnis dari proyek-proyek yang telah dituangkannya ke dalam kebijakan-kebijakan.
Pun harus diingat, bahwa kebiasaan buruk di kalangan pejabat seperti itu sudah lama berlangsung secara turun-temurun, bagai pertunjukan budaya yang leluasa dipertontonkan di hadapan rakyatnya. Dan menyaksikan semua itu, mulut rakyat hanya bisa menganga sambil mengelus-elus dada menahan jeritan karena tak kuasa melawan.
Jadi, salahkah jika Rizal Ramli yang memang pernah tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah perihnya penderitaan rakyat karena telah yatim-piatu di usia 7 tahun itu, menolak keras segala bentuk kebijakan yang dianggapnya hanya cenderung membuat pejabat negara dan pihak-pihak tertentu semakin kaya dan bertambah sejahtera???