PUBLIK sejauh ini boleh saja tak lagi simpatik dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dinilai telah melakukan perbuatan “kotor” (seperti korupsi). Tetapi, pada persoalan pemberian keterangan yang dilakukan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dengan menyebut Bunda Putri sebagai sosok yang memiliki kedekatan dan “pengaruh” khusus kepada SBY, maka secara pribadi saya masih menaruh rasa salut.
“Bunda Putri adalah orang yang dekat dengan Presiden SBY. Dia sangat tahu soal kebijakan reshuffle,” ungkap Luthfi saat bersaksi dalam sidang Ahmad Fathanah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada kasus suap impor daging sapi, di Jakarta, Kamis (10/10/2013). Seperti ditulis merdeka.com.
Dari kasus dugaan suap itu, katakanlah Luthfi memang telah turut berbuat “kotor”. Namun, justru karena alasan telah dinilai berbuat “kotor” itulah, yang kemudian kiranya membuat Luthfi pun harus “terpaksa berkata jujur”. Dalam hal ini, Luthfi tentu ingin mencari “keadilan”, yakni dengan berusaha menunjukkan kepada Hakim dalam persidangan, bahwa ia tidaklah “sendiri” bermain kotor.
Sederhananya, Luthfi saat ini sangat sadar bahwa dirinya telah terlanjur basah “tercebur” di kubangan lumpur, ditambah lagi di sisi lain dengan terbongkarnya beberapa kasus korupsi seperti di SKK Migas, lalu terakhir dengan ditangkapnya Ketua MK, yang dengan mengetahui semuanya itulah, Luthfi pun kemudian pada akhirnya nampaknya lebih memilih untuk “sekalian” saja membeberkan semua rentetan “kisah” yang mewarnai perjalanannya hingga harus berada di meja-hijau.
Jika hal ini coba dihubungkan dengan kesaksian sebelumnya dari Ridwan Hakim, putra Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin, yang beberapa waktu lalu menyebut nama Sengman yang juga dinilai sebagai sosok yang memiliki kedekatan dengan SBY, maka akankah majelis hakim mengabaikan kesaksian Luthfi?
Penyebutan nama Sengman dan juga Bunda Putri yang mengaitkan nama SBY adalah sebuah fakta persidangan. Anehnya, SBY buru-buru menanggapi kesaksian (fakta persidangan) tersebut secara amat tegas dan dengan intonasi “marah”. Yakni, SBY bergegas melakukan klarifikasi di luar persidangan melalui konferensi Pers (konpers), di Halim Perdanakusuma Jakarta, Kamis malam (10/10).
Padahal lalu-lalu, SBY berkali-kali pernah mengatakan, bahwa dirinya tidak akan ingin “mencampuri“ alias intervensi terhadap semua perkara hukum, terutama kasus korupsi. Tetapi, SBY nampaknya lupa, bahwa dengan melakukan klarifikasi atau tanggapan yang tergopoh-gopoh (melalui konpres) atas kesaksian seseorang yang sedang (masih proses hukum) di dalam persidangan, itu sama saja secara tidak langsung telah melakukan intervensi.
"Reaksi" dan sikap SBY itu, secara psikologis bisa membuat majelis hakim merasa terganggu, dan bahkan (mungkin) bisa merasa “tertekan” ketika mengetahui adanya tanggapan “marah” dari kepala negara atas kesaksian Luthfi. Dan ini bisa saja mempengaruhi kemurnian dari keputusan yang akan diambil oleh majelis hakim nantinya. Namun, moga-moga saja tidak demikian!
Tidak cuma itu, tanggapan mendadak dari SBY juga bisa membangun berbagai opini publik yang beragam. Sehingga, apabila ada opini bersifat dugaan yang mengarah ke SBY sebagai sosok yang mungkin juga terlibat dalam kasus “korupsi” itu, maka opini itu tak bisa dicegah, apalagi jika pendapat publik tersebut ingin disalahkan.
Sebab, SBY-lah sesungguhnya yang telah MEMAKSA publik untuk memunculkan beragam opini dari konpers tersebut. Apalagi memang saat ini, berbagai kalangan sudah menaruh rasa tidak percaya terhadap pemerintahan SBY yang misalnya juga karena “ulah” dari sejumlah kader partainya. Publik bahkan bisa menilai, bahwa bantahan SBY itu sepertinya sebagai cuci tangan saja. Atau istilah: "Ketang dan Kepiting sama saja".
Dalam konpers itu, SBY nampak sekali dengan semangat berkobar-kobar dan "bernafsu"membantah kesaksian Luthfi. Padahal, sikap tegas berkobar-kobar dari SBY seperti itulah sesungguhnya yang sangat dinanti-nantikan Rakyat Indonesia, yakni misalnya, ketika Malaysia berkali-kali "menghina dan melecehkan" Indonesia, atau di kala TKW kita di luar negeri diperlakukan seperti binatang, diperkosa, dihamili, dan bahkan dibunuh. Sayangnya, di saat-saat seperti itu SBY dan para kader di parpolnya yang biasa berteriak lantang, malah seakan MK (Mati Kutu). Sehingga, membuat rakyat pun jadi bingung dan kecewa.
Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli bahkan juga mengaku bingung dan menyayangkan sikap Presiden SBY tersebut. “Saya bingung, SBY merendahkan dirinya sendiri dengan marah-marah begitu,” ujar Rizal di sela-sela diskusi di Gedung DPD/DPR RI Jakarta, Jumat (11/10/2013).
Ketua Pergerakan Arus Perubahan itu menyebutkan, SBY seharusnya tak perlu marah-marah seperti itu. Jika memang ada isu yang perlu diluruskan, Rizal Ramli menyarankan, cukup SBY sebagai Presiden mewakilkan kepada juru bicara Presiden atau sekretaris Kabinet.
Sebab, lanjut Rizal Ramli, jika Presiden yang langsung menanggapinya dengan mimik marah-marah seperti itu, maka itu justru dapat menimbulkan penilaian bahwa ini tentu ada apa-apanya.
Namun figur yang juga mulai ramai diincar untuk dimajukan dalam pilpres 2014 ini pun, mengaku tidak mengenal siapa itu Bunda Putri. “Saya tidak kenal Bunda Putri, jadi no comment,” kata Rizal Ramli.
Tetapi kalau mengenai Sengman, Rizal Ramli berani mengatakan SBY berbohong apabila mengaku tak mengenal sosok Sengman. “SBY berbohong kalau tidak kenal Sengman, karena SBY kenal banget,” ujar Rizal, seperti dilansir tribunnews.
Sementara itu Politisi PKS Fahri Hamzah menyebut, Presiden SBY hanya pura-pura tidak tahu soal Bunda Putri. “Harusnya tahu. SBY berlagak ‘pilon’ (pura-pura tidak tahu) aja. Setiap orang yang ketemu LHI atas namakan SBY kan pasti dikonfirmasi,” kata Fahri Hamzah saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Jumat (11/10). Seperti dikutip jpnn.com.
Selama ini, kata Fahri, KPK selalu memutus rantai pemberantasan korupsi menuju kekuasaan. Misalnya saja kasus di Hambalang yang menyeret nama Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas), namun ditutup oleh KPK. Dalam kasus impor, kata Fahri, ada sosok Bunda Putri dan Sengman.
“SBY seharusnya membaca ini gejala apa. Sebab ini bukan sekadar soal jual nama, tapi soal konsep dan strategi pemberantasan korupsi yang SBY abaikan sejak lama. Artinya SBY ini sudah jadi bagian dari masalah,” ujar Fahri.
Kembali mengenai kesaksian yang diberikan Luthfi. Selain SBY yang mendadak marah, ternyata sebelumnya, seorang hakim dalam persidangan tersebut lebih dulu telah memarahi Luthfi atas disebutnya nama Bunda Putri dan SBY. “Anda tidak rasional. Ketika ditanyakan dekat dengan SBY, langsung cepat menjawab. Tapi begitu ditanyakan dia siapa, saudara tidak tahu,” kata hakim anggota Nawawi Pomolango di persidangan, Jakarta, Kamis (10/10/2013) tersebut. Seperti dilansir tempo.co.
Tak hanya itu, hakim Nawawi juga mengaku tak suka karena Luthfi menuding berbagai pihak. Sebab, selain menyebut dekat dengan SBY, Luthfi juga mengatakan Bunda Putri merupakan anak pendiri Golkar. “Saya tidak mau persidangan ini jadi ruang untuk nyekak sana nyekak sini,” ujar Nawawi.
Untuk menggali kebenaran, hakim memang punya hak penuh untuk memarahi seorang saksi maupun terdakwa dalam persidangan. Tetapi ketika ada sejumlah keterangan ataupun kesaksian yang mungkin masih dianggap “misteri” yang muncul di persidangan, maka itu adalah menjadi kewajiban hakim untuk mengungkap kebenarannya demi menegakkan KEADILAN di dalam negara hukum ini, yakni tanpa harus terpengaruh dengan kekuasaan dari pihak-pihak tertentu. Kalau perlu, kesaksian Luthfi ini bisa dikonfrontir dengan menghadirkan secara resmi SBY, bukan malah dengan cara membantah lalu balik menuding Lutfhi 1000%....2000% bohong di luar persidangan. UUD 1945, pasal 28D (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Sehingga, menurut pandangan psikologis saya dalam hal ini, jika hakim bisa memarahi seorang saksi yang dianggap “mengada-ngada”, atau katakanlah hanya sebatas karena ada keterangan seorang saksi yang TIDAK DISUKAI oleh hakim lalu kemudian hakim itu memarahinya......, maka apa bedanya dengan SBY yang pula ikut “memarahi” Luthfi dengan “menggelar sebuah persidangan tandingan” di luar pengadilan..???
Namun terlepas dari semua itu, saya sebagai pengamat politik, hukum dan sosial, sementara ini hanya bisa menyimpulkan, bahwa baik kesaksian yang “dahsyat” dari Luthfi, maupun bantahan “galau” SBY bernada marah yang bukan pada tempatnya, adalah saya percaya 2014% bermuatan politik.
Tetapi salah satu di antaranya (SBY ataukah Luthfi) tentunya memiliki nilai kebenaran yang “HARUS DIKEJAR” dan diungkap oleh hakim secara arif dan bijaksana, serta harus dengan TEGAS dan BERANI memunculkan kebenaran tersebut atas nama TUHAN SANG PEMILIK KEADILAN.
Salam Perubahan....!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H