KITA semua tahu dan sangat paham, bagaimana kini kondisi Indonesia tercinta ini. Yakni, punya kekayaan alam yang melimpah dan terkandung di perut Ibu Pertiwi, tetapi rakyat kita masih sangat banyak yang sengsara. Itu karena kekayaan alam (bumi) yang kita punyai saat ini lebih banyak “disedot” dan dikuasai oleh negara asing.
Sungguh aneh, sekaligus memilukan. Bayangkan! Di kala negara asing sudah menyedot kekayaan alam negara ini, kita malah punya utang (berutang) kepada mereka (negara asing itu)..??!!! Woww… Luar biasa..!!??
Yaa…Negara kita punya banyak utang luar negeri yang menggunung, dan punya hasil pajak yang menggumpal-gumpal, tetapi sebagian besar hanya dilahap oleh koruptor, sampai-sampai keuangan negara pun jadi defisit, lalu berutang kembali untuk menambal “kebocoran-kebocoran” yang ada…!?!
Harusnya, dalam kondisi seperti itu, rakyat kita sudah tak ada lagi yang hidup miskin, menderita bing sengsara. Tak ada lagi yang mati digebukin dan dikeroyok karena mencuri ayam; tak ada lagi ibu yang mencekik bayinya karena tak mampu membeli susu; tak ada lagi istri yang membunuh suaminya dengan linggis karena dililit kesulitan ekonomi; tak ada lagi anak remaja yang tega menghabisi nyawa ibu kandungnya karena tak diberi uang jajan; tak ada lagi artikel seperti ini yang terposting di kompasiana atau di blog lainnya; serta tak ada lagi yang harus disomasi karena dianggap memfitnah, dan lain sebagainya.
Dan dalam kondisi berlimpahkan kekayaan alam hasil bumi, akumulasi pajak dari rakyat, punya utang luar negeri, seharusnya ekonomi negara kita sudah sangat mapan, dan rakyat kita tentu sudah sangat sejahtera. Sehingga tak perlu lagi pemberian subsidi BBM; tak perlu lagi ada BLSM; tak perlu lagi repot-repot berlakukan SJSN, kartu sehat atau sejenisnya; tak perlu lagi pengurus tempat ibadah atau panti asuhan “mengemis” ke sana-ke mari memohon bantuan; serta tak perlu lagi susah-susah menggusur pedagang kaki-lima, mengusir keluarga purnawirawan dari eks rumah dinasnya, dan lain sebagainya.
Apalagi kita punya presiden dua periode (SBY) yang bergelar doktor pertanian, maka seyogianya pembangunan pertanian kita hari ini bisa lebih maju dan berkembang. Namun sayang, sungguh sangat disayangkan, negara yang subur ini justru lebih doyan bergantung pada impor. Mulai dari beras, daging sapi, kelapa, gula (tebu), hingga kedelai dan lain sebagainya, semua kini diimpor.
Derajat ekonomi para petani kita juga malah semakin menurun bersamaan dengan giatnya pemerintah “berimpor-ria”, petani pun jadi malas dan lesu, lalu berkuranglah jumlah petani kita. Menurut data BPS, selama satu dasawarsa, jumlah rumah tangga petani kita berkurang 5 juta lebih. Lahan produktif juga makin menyempit karena alih-fungsi.
Betapa pembangunan di bidang pertanian kita saat ini malah jadi “tandus”, alias tak berkembang secara signifikan di bawah kepemimpinan seorang presiden yang bertitel doktor pertanian, tetapi nyatanya boleh dikata tidak ahli di bidang pertanian. Seharusnya, sebagai negara agraris yang sangat subur, Indonesia sudah bisa menjadi negara mandiri, sekali pun “mungkin” tak dipimpin oleh seorang doktor pertanian.
Selain sebagai doktor pertanian, SBY sebagai presiden juga adalah seorang militer, namun budaya dan warga kita (TKI) sering “dilecehkan” oleh negara lain; batik dan sejumlah tari-tarian kita seenaknya diklaim oleh negara luar sebagai milik mereka; korupsi merajalela; teroris “mendadak” muncul; daftar polisi tertembak pun makin bertambah, perampokan di sejumlah toko emas dan supermarket mulai meningkat, ada aksi koboi adu jotos antara polisi dan TNI, jaringan bisnis narkoba pun makin meluas, dan sebagainya. Seakan presiden militer itu (SBY) tak ditakuti, juga tak lagi disegani? Padahal dulu kita punya Presiden bukan militer tetapi sangat disegani oleh rakyat, baik di dalam maupun di luar negeri. Misalnya, Presiden Soekarno.
Banyak sekali kalangan yang tak habis pikir. Hampir 10 tahun berkuasa, tetapi rakyat masih sangat bingung menebak karakter presidennya, SBY. Sampai-sampai, tak sedikit orang bertanya-tanya: “apakah SBY benar-benar presiden dari kalangan militer, punya gelar doktor pertanian, atau seorang “banci”..??? Kok setiap ada masalah-masalah selalu dikeluhkan melalui curhat ke publik???
Akibatnya, rakyat pun jadi pusing berat, niatnya untuk curhat ke presiden (pemerintah) harus dibatalkan dan terpaksa hanya dipendam dalam hati. Kenapa? Karena presiden lebih dulu melakukan curhat di hadapan publik. Bagai seorang “anak” yang terpaksa membatalkan niatnya untuk meminta sesuatu kepada “bapaknya”, lantaran sang bapak lebih dulu sudah mengutarakan keluhannya (curhat) di hadapan anak-anaknya. Sehingga, rakyat pun kini lebih banyak memilih diam dan pasrah dengan kondisi yang sangat sulit seperti saat ini.
Sejauh ini pula, SBY mungkin lebih tepat jika disebut sebagai seorang artis dan penyanyi, juga seorang penulis. Sebab selama ini SBY dinilai sangat “pandai” melakukan akting dan pencitraan diri. Kesuksesannya di bidang akting sama sekali tak bisa dibantah, karena sejumlah album lagu memang sudah diorbitkannya, dan beberapa judul buku juga sudah diterbitkannya.
Sayangnya, kesuksesannya membuat album lagu dan menerbitkan buku itu terjadi di saat kondisi negara dan rakyat masih sangat-sangat dililit masalah-masalah. Dan itu sudah dimulai sejak periode SBY-JK, kemudian dilanjutkan hingga kini SBY-Budi. Bukannya tak boleh membuat album lagu atau menerbitkan buku. Silakan, tak ada yang melarang! Bahkan akan banyak orang (termasuk saya sendiri) siap jadi produser untuk mengorbitkan setiap album lagu SBY, asalkan saja masalah-masalah negara sudah bisa diatasinya sebagai seorang Presiden.
Selanjutnya, kita juga saat ini punya wakil presiden (Boediono) yang mengaku pernah bertindak “mulia” karena dinilai “jago” mengelola keuangan, tetapi anehnya keuangan negara kita saat ini malah di posisi defisit yang mengerikan, perekonomian negeri ini terpuruk, nilai Rupiah anjlok, harga bahan kebutuhan pangan rakyat jadi mahal; saling dorong berebut pembagian zakat atau sumbangan sosial masih menjadi fenomena yang menyedihkan (bahkan amat tragis karena acapkali menelan korban nyawa hanya untuk mendapatkan uang Rp.20 ribu, atau 5 liter beras).
Hal lainnya yang bisa menjadi “biografi” negara ini selain masalah korupsi selama hampir 10 tahun kekuasaan SBY hingga kini, adalah masalah nepotisme. Maaf…jujur saja, sampai detik ini saya belum melihat adanya sebuah prestasi atau kehebatan yang bisa ditunjuk dari seorang Hatta Rajasa, namun hingga hari ini pun kok tetap “dipertahankan“ sebagai Menko Perekonomian??? Sebetulnya pertanyaan ini mudah saja dijawab. Publik bahkan sudah sangat mengetahuinya, bahwa Hatta Rajasa adalah besan SBY.
Di dalam tubuh partai “milik” SBY juga nampaknya terjadi hal serupa. Sebagai partai penguasa saat ini, Demokrat sepertinya telah berhasil membangun panggung politik, karena masih mampu menyedot perhatian publik. Ibas berhasil diposisikan sebagai Sekjen PD, meski sebetulnya semua orang tahu bahwa Ibas masih sangat minim kemampuan tentang berpolitik untuk mendampingi Anas Urbaningrum (AU) yang terpilih sebagai Ketua Umum PD. Tetapi toh, Ibas tetap pede bertindak sebagai Sekjen PD.
Namun tak lama kemudian, tiba-tiba terjadi kemelut di tubuh PD, yang dipicu oleh masalah kasus dugaan korupsi Nazaruddin (mantan Bendum PD), yang membuat “bintang iklan” anti-korupsi Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, dan baru-baru ini AU akhirnya juga ikut ditahan KPK.
Lain halnya dengan Gede Pasek yang meski sebetulnya adalah termasuk kader terbaik PD dan boleh dikata politisi yang cukup berkualitas, tetapi nyatanya ia juga harus terlibas alias dipecat dari parpol penguasa itu lantaran dinilai membelot dan lebih berpihak kepada AU.
Tetapi meski “jalan ceritanya” sudah sampai sedemikian “serunya” di panggung PD, pengamatan saya terhadap semua itu menunjukkan masih adanya kemungkinan “penampakan” lain yang ujung-ujungnya adalah untuk meraih simpatik pemilih dan demi “kepentingan politik 2014”.
Misalnya, boleh saja selanjutnya Ibas akan “dijadikan” tersangka oleh KPK, dan pada ketika itu boleh saja SBY buru-buru tampil berpidato “merestui dan mengikhlaskan” anaknya dijadikan tersangka demi mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Tetapi wooww…, di situlah sebetulnya yang menjadi titik proyeksi positif sekaligus “senjata pamungkas” PD dalam mengembalikan citra dirinya agar dapat ditunjuk sebagai parpol yang benar-benar “serius” melakukan “bersih-bersih”. Lalu… pemilih pun dengan senang hati kembali memenangkan PD pada Pemilu 2014. Who fear…and Why not..??? This is the auto-electability..!
Akan muncul pertanyaan: “Kok bisa begitu..???”
Untuk khusus di dunia politik demi kembali merebut atau mempertahankan kekuasaan, semuanya bisa saja dibolak-balik dijadikan “begini dan begitu”, yang penting “tujuan” bisa tercapai. Termasuk “mengorbankan” untuk sementara waktu orang-orang (kerabat, sanak keluarga) yang dicintai demi sebuah kepentingan dan kekuasaan besar. Karena ketika kekuasaan sudah di tangan, maka bukan persoalan sulit jika yang dikorbankan itu bisa “dikembalikan” kepada posisi sedia kala, termasuk dengan "pengorbanan" uang yang selalu mesti dikorbankan untuk sementara waktu sebagai biaya kampanye (mungkin juga sebagai money-politic). Sekali lagi, semua itu tak akan jadi masalah ketika kekuasaan sudah berada di tangan. Bahkan lebih dari yang dikeluarkan (dikorbankan) akan bisa dengan mudah dipulangkan secara aman dan terkendali ketika kiranya telah berhasil tembus ke dalam istana.
Beberapa paragraf di atas adalah hanya bagian sedikit dari hasil analisa politik saya. Saya juga tak ingin membantah jika ada analisa lain yang mungkin agak berseberangan dengan hasil pemikiran saya. Silakan! Mungkin cuma berbeda dari sudut pandangnya saja, tetapi substansialnya adalah tetap sama. Yakni, tak ada satu parpol pun yang tidak berambisi menggenggam kekuasaan. Dan PD sedikit pun tentu tak ingin merelakan kekuasaan itu jatuh ke tangan parpol lainnya.
Bukankah saat ini PD adalah parpol yang sangat unik dan hebat, karena dipimpin dan dikuasai oleh bapak dan anak (SBY dan Ibas), yang kedua-duanya juga adalah termasuk “bintang iklan” anti-korupsi yang pernah giat ditayangkan di sejumlah stasiun televisi? Namun di saat KPK sedang gencarnya beraksi dan bereaksi, iklan itu kok malah hilang bagai ditelan bumi??? Yang muncul justru sebuah buku Biografi SBY.
Menurut saya, sangatlah tepat jika buku tentang biografi itu bisa dimunculkan nanti ketika SBY telah tidak lagi menjadi presiden. Karena, harusnya SBY mengejar dulu dead-line tugas-tugasnya sebagai presiden: “bisa tuntaskah atau justru disebut gagal total..???”
Jika SBY belum menyelesaian tugas-tugasnya hingga selesai masa jabatannya, maka selain terkesan dipaksakan karena menghadapi Pemilu, penerbitan buku biografi itu juga bisa “mengaburkan biografi negara”. Artinya, bisa saja buku biografi SBY itu berisikan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan kepemimpinannya (sebagai presiden) dalam warna cerah, tetapi kenyataannya ketika itu misalnya negara faktanya dalam kondisi buram, terutama dalam hal ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya.
Maaf, dengan melihat kondisi yang sangat sulit saat ini, seperti masalah ekonomi yang mencekik dan melilit rakyat, serta situasi politik yang berbelit-belit dari elit-elit parpol yang hanya mengedepankan kepentingan kelompoknya, maka seberapa banyak pun kekuatan uang dan harta yang dimiliki seorang presiden yang akan datang, itu tidak akan bisa mengatasi masalah bangsa yang sangat kompleks, apabila ia hanya dipilih karena kegantengan, kekaleman, atau karena punya banyak uang.
Hal lainnya yang mungkin bisa disebut "biografi negara" ini selama SBY berkuasa, adalah tak sedikit riwayat yang terjadi dalam bentuk musibah. Kita bisa menengok saat periode SBY-JK yang sejak awal-awal sudah dibuka dengan tsunami yang begitu amat dahsyat, disusul banjir. Juga ada "kecelakaan koalisi" (maaf ini cuma istilah saya), yakni kecelakaan di darat, laut dan di udara.
Musibah dan kecelakaan itu selalu saja mewarnai perjalanan kekuasaan SBY hingga kepada periode SBY-Budi. Memang pada periode ini, ada sedikit spasi waktu yang diberikan sebagai kesempatan pemerintahan SBY untuk "membenahi" akibat yang ditinggalkan oleh musibah dan kecelakaan tersebut.
Hingga pada memasuki tahun terakhir masa jabatan SBY-Budi 2014 ini, Tuhan lagi-lagi nampaknya akan selalu "memaksa" SBY agar benar-benar serius untuk lebih mewujudkan kepedulian kepada rakyatnya, bukan kepada keluarga atau kelompok saja. Yakni dengan melalui musibah dan bencana alam serta kecelakaan tersebut.
Dan lihatlah, Tuhan pun mengizinkan Gunung Sinabung meletus, lalu memilih Ibukota Jakarta untuk kembali banjir, juga menunjuk Manado tersapu luapan banjir bandang, serta di sejumlah daerah lainnya yang ikut dihantam banjir, pun tanah longsor. Dan sebelumnya ada tabrakan kereta api dengan truk di Bintaro.
Memang betul, semua itu adalah musibah, bencana dan kecelakaan yang tak bisa dihindari oleh pemimpin mana pun. Karena: "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (QS. 64:11).
Ayat tersebut menyiratkan perintah untuk senantiasa beriman kepada Allah agar Allah selalu memberi petunjuk kepada hati kita, yakni petunjuk untuk dapat "menghindari" murka Allah berupa musibah. "...Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu", artinya adalah Allah sungguh sangat mengetahui hati kita, apakah selalu berdusta (bohong) atau tidak. Terutama pemimpin: apakah suka membohongi rakyatnya (tidak menepati janji-janji) atau tidak..??? Jika suka berdusta, maka: "Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa" (QS. 45:1)
Oleh karena itu, agar bisa mendapatkan “biografi negara” yang cerah untuk anak-anak cucu kita kelak, maka dalam Pemilu (terutama Pilpres) rakyat harus benar-benar waspada dan jeli agar tidak memilih pemimpin yang "jago" mengumbar janji-janji, yang sesudahnya ternyata penuh kebohongan.
Selain itu, rakyat hendaknya tidak mudah terjebak serta terpengaruh memilih pasangan Capres hanya karena melihat parpol atau kekuatan uang yang dimilikinya saja. Sebab, sekali lagi, parpol sebesar apapun dan dengan kekuatan uang yang mungkin mampu membeli suara rakyat seperti pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, maka itu tidaklah mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara ini.
Yakinlah, “biografi” negara kita sesungguhnya sangat bisa mencatat sejarah mulai dari sekarang demi kemajuan pesat jika pemimpin yang dipilih pada Pemilu 2014 adalah benar-benar ahli di bidang ekonomi. Bukan yang ahli politik, hukum, apalagi yang hanya ahli di bidang akting. Bukankah rakyat kita selama ini lebih banyak menjerit karena masalah ekonomi…??? Maka berjuanglah dari sekarang untuk melahirkan Pemimpin yang benar-benar AHLI DI BIDANG EKONOMI. Ingat, jangan serahkan masalah atau urusan besar kepada YANG BUKAN AHLINYA..!!!
Apakah kita mau menaiki mobil yang dikemudikan oleh orang yang tak ahli (atau sama sekali tidak tahu) menyetir di jalan yang berliku di kiri kanannya terdapat jurang terjal...???
SALAM PERUBAHAN 2014...!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H