DARI Orde Baru (Orba) hingga pada era reformasi saat ini, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia masih hanya cenderung dijadikan sebagai batu loncatan oleh para elit atau pengurusnya untuk mendapatkan proyek-proyek benilai gede. Dari situ tak jarang terjadi lobi-lobi dan persekongkolan anggaran dalam pembahasan di tingkat DPR. Selanjutnya, siapa yang mampu menyuguhkan fee tebal, atau yang memiliki hubungan khusus (keluarga atau kerabat) dengan kepala daerah/kepala negara atau pejabat-pejabat berpengaruh lainnya, maka dipastikan dialah yang mendapat proyek tersebut. Dan ini kemudian dimudahkan dengan munculnya calo-calo proyek seperti Bunda Putri, yang berperan sebagai sosok pionir yang diyakini mampu memuluskan urusan guna mendapatkan proyek sebagaimana yang diharapkan. Asalkan dapat didahului dengan deal-deal, maka tentu mantaplah langkah selanjutnya. Sedangkan pengusaha yang tak mampu atau enggan (pantang) melalui “proses” seperti itu tentunya harus lebih banyak gigit jari saja. Soal pertimbangan layak (mampu) atau tidaknya mengerjakan proyek tersebut adalah urusan kedua belas buat para pengusaha yang hanya memburu keuntungan. Sehingga, tak usah heran jika proyek-proyek infrastruktur (seperti: jalan, jembatan, gedung perkantoran, sekolah, dan lain sebagainya) tak sedikit dikerjakan secara asal-asal tanpa memperhatikan kualitasnya. Namun jika sudah seperti itu, maka akan memunculkan urusan ketiga belas, yakni pekerjaan rampung tetapi cepat rusak atau tidak dimanfaatkan sebagaimana penggunaannya. Misalnya, pembangunan terminal transportasi umum-darat atau pembangunan pasar di beberapa daerah seusai diresmikan malah tak difungsikan sebagaimana mestinya, lalu menjadi bangunan tua. Bahkan ada sejumlah pekerjaan yang terbengkalai atau tidak dirampungkan pekerjaannya karena pihak pelaksana kehabisan anggaran, yang memang sebelumnya telah tersedot untuk membayar fee sejumlah pihak. Di sisi lain, Kadin sebagai organisasi pengusaha Indonesia yang bergerak di bidang perekonomian, juga lebih banyak berposisi sebagai tamu di negeri sendiri. Kadin tak berkutik di hadapan pemerintah. Apa yang dikatakan dan yang menjadi selera pemerintah, maka itu pula yang diikuti dan dituruti oleh para petinggi Kadin. Termasuk ketika pemerintah lebih memilih untuk menyerahkan pekerjaan atau penguasaan lahan usaha bagi pihak (pengusaha) dari negara asing, Kadin tak bisa protes. Seakan jika berani protes, maka tak ada jatah proyek untuk para elit Kadin. Sejauh ini, saya telah menghabiskan banyak waktu sebagai orang yang pernah aktif di dunia jurnalistik dengan sambil mengamati kondisi secara dekat, yang nampaknya memang selama ini telah terbangun sebuah kondisi “pembagian wilayah bisnis” -- (lihat diagram 1 di bawah ini), yakni terdapat wilayah bisnis Kadin (A) dan wilayah bisnis pengusaha Asing (C). [caption id="" align="aligncenter" width="362" caption="Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Diagram 1"][/caption] Dari pengamatan saya menunjukkan, pemerintah (penguasa/pejabat) nampaknya telah mampu menciptakan “lahan bisnis”, yakni dengan membuat “gerhana parsial” dari kedua lingkaran wilayah bisnis yang ada tersebut. Dari diagram 1 di atas, wilayah “gerhananya” (B-warna biru) cukup lebar yang menunjukkan sebagai “lahan basah” yang kiri-kanan-dan bawah OK. Dan inilah mungkin salah satu alasan mengapa banyak figur yang sangat bernafsu berlomba-lomba berpartai untuk menjadi penguasa daripada menjadi seorang pengusaha. Contohnya yang terjadi di Banten. Diagram 1 di atas juga sekaligus secara amat sederhana dapat menjawab kebingungan kita tentang mengapa kondisi ekonomi umat di negeri ini masih tidak mengalami kemajuan signifikan. Meski memang banyak faktor lain yang mengakibatkan mengapa ekonomi bangsa ini tidak mengalami kemajuan, tetapi faktor-faktor lain itu cuma teori. Karena pada kenyataannya, ekonomi negara yang subur ini telah dikondisikan oleh pemerintah seperti pada diagram 1 tersebut di atas. Yakni porsi jatah proyek dan penguasaan usaha untuk negara asing lebih besar dibanding jatah proyek untuk Kadin (itu pun cuma lebih banyak dinikmati oleh para elit Kadin). Kemudian perhatikan jatah buat rakyat (D) yang porsinya sangat kecil. Porsi rakyat ini, misalnya dapat berupa bansos, bantuan permodalan UKM dan lain sebagainya. Namun porsi ini pun tak jarang dikebiri oleh oknum pemerintah maupun swasta yang tak bertanggung-jawab. Pernah dengar bansos disunat? Atau apa pernah mengetahui adanya pihak atau oknum karyawan bank yang juga ikut meminta fee atas pencairan modal usaha rakyat (nasabah)? Seperti itulah...! Dan kondisi seperti ini sebetulnya sudah berlangsung sejak dulu, bahkan telah menjadi “budaya” yang sangat terpelihara di negeri ini. Sungguh, selama kondisi itu (seperti yang tergambar pada diagram 1 tersebut) tetap berlangsung, maka selama itu pula korupsi masih tetap terjadi. Kadin sebetulnya sangat mengetahui jika selama ini telah terjadi kondisi ekonomi dan iklim usaha yang sangat tidak sehat (seperti kondisi pada diagram 1 tersebut). Tetapi Kadin tidak berani “melawan”, karena lagi-lagi ketergantungan para elite Kadin kepada pemerintah sangatlah besar. Harusnya Kadin berani “melawan” dengan segera melakukan terobosan mendasar. Misalnya, menentang keras seluruh regulasi maupun undang-undang yang dinilai justru bisa melemahkan ekonomi bangsa, lalu menyodorkan solusi-solusi yang dianggap lebih mampu mengangkat derajat ekonomi umat di negeri ini. Sayangnya, para elite Kadin selama ini pula hanya kelihatannya lebih mendahulukan kepentingan dan urusannya sendiri-sendiri, yakni dengan melakukan pendekatan dan menjalin hubungan kekerabatan kepada para penentu kebijakan. Sementara pengusaha yang tergabung sebagai anggota atau pengurus biasa di Kadin (bukan elite), adalah terkesan hanya formalitas untuk pemenuhan syarat administrasi guna bertahan hidup, bukan kepada arah pengembangan bisnis usaha agar dapat menjadi lebih baik. Selanjutnya, Kadin seharusnya bisa menciptakan dan menata kondisi baru yang lebih berpihak kepada seluruh anggotanya, karena dengan begitu juga sekaligus dapat dikatakan telah berpihak kepada rakyat. Sayangnya, Kadin pimpinan Suryo Bambang Sulisto (SBS) justru memecat sejumlah anggotanya. Padahal anggota-anggota tersebut diyakini sangat potensial untuk melakukan terobosan dan perubahan mendasar. Lalu dari sinilah terbaca ketidakmampuan SBS memimpin Kadin sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, terutama dalam pasal 3 dan pasal 7 dalam undang-undang tersebut. Bukan cuma itu, dengan kondisi ekonomi bangsa dan negara yang berantakan serta tak jelas ke mana arahnya seperti saat ini adalah juga sekaligus menunjukkan, bahwa peran dan fungsi SBS di Kadin selama ini tidaklah maksimal, bahkan terindikasi hanya menyenangkan sejumlah pihak saja, termasuk menyamankan pemerintah/penguasa dan pejabat lainnya. Sehingga, di tangan SBS dan para pendahulunya nampaknya hanya membuat Kadin ibarat sebagai “Kamar Dingin= Kadin” yang begitu menyejukkan bagi para penguasa (bukan pengusaha yang tergabung dalam Kadin). Misalnya dengan leluasanya dilakukan kegiatan impor dan lain sebagainya. Dengan memahami seluruh kondisi ekonomi yang sangat tidak sehat saat ini, dan dengan mengetahui ketidakmampuan SBS menerapkan Undang-undang No.1 tahun 1987 tersebut, serta hanya seakan membuat Kadin sebagai Kamar Dingin yang sejuk dan hanya memanjakan pihak tertentu saja, maka tentu kita akan segera memahami apa sebetulnya yang menjadi keinginan Oesman Sapta Odang (OSO) serta Setiawan Djody dkk. Termasuk kita akan memahami mengapa OSO dan Setiawan Djody berhasil membentuk kepengurusan baru dalam Kadin yang lebih solid, kredibel, dan lebih memiliki integritas yang tinggi. Masih ingat perseteruan dan konflik Megawati Sukarnoputri dalam tubuh PDI beberapa tahun silam? Yang dari situ Megawati tetap tidak terterima dalam PDI karena adanya intervensi dari pemerintah, tetapi kemudian Megawati berhasil membentuk kepengurusan PDI baru yang kemudian dikenal dengan nama PDI-Perjuangan. Dan nampaknya, Kadin versi OSO juga akan mengalami “kisah” yang sama dengan kisah perseteruan Megawati tersebut, yakni boleh jadi Kadin kubu OSO yang kini dipimpin oleh Rizal Ramli sebagai Ketua Umumnya itu akan berubah nama menjadi KADIN-Perjuangan. Dan tentu saja, KADIN-Perjuangan ini diyakini akan lebih hidup, karena selain dipenuhi oleh anggota-anggota yang memiliki jiwa perjuangan dan daya terobosan yang kuat, juga karena memang melalui Munas telah resmi dinakhodai oleh Rizal Ramli sebagai sosok yang tangguh dalam langkah-langkah dan pergerakan perjuangan perekonomian bangsa. Selanjutnya, saya pun yakin, KADIN-Perjuangan yang dipimpin oleh mantan Menko Perekonomian itu pun akan segera melakukan langkah-langkah Perubahan yang lebih jelas dan terarah, yakni dengan membawa dan menjadikan KADIN-Perjuangan sebagai “Kamar Dinamis= Kadin” (bukan Kamar Dingin yang selama ini terjadi). Langkah-langkah perjuangan tersebut salah satunya dengan melakukan perubahan terhadap kondisi “pembagian porsi” ekonomi yang tidak sehat menjadi sangat sehat, misalnya saja pada diagram 2 di bawah ini yang saya sebut sebagai diagram “tusuk sate”, yang bertindak sebagai “penusuk” dan sekaligus sebagai penopangnya adalah pemerintah. Dan silakan diterjemahkan lalu dibandingkan sendiri dengan diagram 1 dan diagram 2. [caption id="" align="aligncenter" width="498" caption="Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Diagram 2"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H