Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Andai KPU Malaikat? Tidak Akan ‘Aborsi’ Parpol!

12 November 2012   23:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:31 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dugaan-dugaan di atas tidak salah dalam dunia politik, sebab, selama ini panggung politik nampaknya memang tidak pernah lepas dari lakon sandiwara yang harus tetap dimainkan demi eksistensi dari sebuah ‘sistim’ yang sedang dijalankan oleh sang ‘sutradara’.

Dan satu hal lagi, KPU hendaknya tidak perlu melakukan verifikasi faktual, dengan cara turun ke lapangan meneliti kebenaran orang (masyarakat) yang memegang Kartu Tanda Anggota (KTA) seluruh parpol, cukup dengan mengecek kebenaran anggota parpol yang tercatat sebagai pengurus parpol yang bersangkutan. Sebab, masyarakat (rakyat) dalam hal ini hanyalah konstituen, bukan pengurus. Dan untuk mengukur ada tidaknya parpol di daerah adalah cukup diteliti kebenarannya dengan menemui para pengurus parpol bersangkutan yang dibuktikan dengan KTA, bukan konstituennya.

Keterlibatan konstituen hanya dilibatkan pada saat pemilu berlangsung, bukan saat proses verifikasi untuk menentukan lolos tidaknya parpol. Dan ada dampak negatif yang sangat parah saat rakyat dilibatkan dalam verifikasi faktual melalui pembuktian KTA, yakni sebelumnya sangat banyak masyarakat tidak mau direkrut (diambil nomor KTPnya) sebagai bukti pendaftaran pemegang KTA parpol jika tidak ditukar dengan nilai uang, besarannya bervariasi  dari Rp.50 ribu hingga Rp.300 ribu perorang. Jika tidak dipenuhi nilai tersebut, maka dipastikan parpol yang berburu anggota sebagaimana yang disyaratkan KPU pasti tidak akan bisa pula terpenuhi. Apa ini yang dikehendaki oleh KPU????

KPU harusnya cukup menerima pendaftaran parpol-parpol dengan persyaratan verifikasi faktual kepada para pengurusnya saja dari pusat hingga ke tingkat Kecamatan. Dan membiarkan parpol-parpol baru itu lahir (bukan seperti sekarang yang seakan parpol-parpol kecil itu karena ‘mungkin’ tak punya kursi di DPR hingga sepertinya sengaja diaborsi).

Saat ini KPU boleh saja 'mengaborsi' atau tidak meloloskan parpol-parpol kecil (padahal mungkin memiliki kadar kemurnian yang pro rakyat) dengan memunculkan persyaratan yang sangat suulit dipenuhi oleh parpol-parpol kecil. Namun pikiran, mulut, mata, dan telinga rakyat tidak bisa disumbat tentang parpol mana saja yang betul-betul layak untuk mereka pilih. Dan andai parpol mereka yang tidak lolos, maka sebetulnya KPU sudah melahirkan pemilih Golput yang lebih besar lagi untuk di tahun 2014.

KPU hendaknya memahami sebuah konsekuensi logis, bahwa karena negara ini telah dikuasai oleh parpol yang tidak lagi cenderung berpihak kepada rakyat, maka pelaku-pelaku politik pun lalu terpanggil berkiprah dengan memunculkan parpol baru demi memperbaiki alur cerita demokrasi dari sebuah negara yang sudah rapuh, bukan malah memunculkan sebuah “kegiatan” yang disebut verifikasi sebagai persyaratan lolos-tidaknya sebuah partai (kayak masuk mendaftar di CPNS saja???).

Visi atau motif yang melatarbelakangi hingga dibentuknya KPU harusnya adalah: memberikan keleluasaan kepada seluruh parpol yang ada untuk berkreasi melahirkan produk-produk politik yang bisa menghidupkan dan menyejahterakan rakyat. Bukan meneliti dan “menentukan” lolos-tidaknya parpol sebagai peserta pemilu.

KPU juga hendaknya bisa membuka keran selebar-lebarnya, dengan memberi keleluasaan bagi parpol-parpol untuk berusaha menjadi ‘pejuang politik’. KPU harusnya hanya sebagai penyaji yang menyajikan parpol-parpol kepada masyarakat, dan biarkan rakyat pula yang menentukan parpol mana yang menjadi pilihan dan selera mereka, bukan menurut selera KPU dengan ‘sengaja’ memunculkan persyaratan yang super sulit untuk bisa dipenuhi oleh parpol.

Tentang hidup-matinya sebuah parpol, biarkan masyarakat (rakyat) yang menentukan. Yakni, ketika rakyat tidak lagi memilih parpol yang bersangkutan, maka secara alami parpol tersebut pasti akan mati dengan sendirinya karena telah ditinggalkan oleh konstituen, bukan karena verifikasi KPU!

Jika cara-cara KPU saat ini yang dipertahankan, maka sampai kapan pun kekuasaan atau kedaulatan tertinggi di negeri ini tidak akan pernah kembali ke pangkuan rakyat. Sehingganya rakyat hanya selalu menjadi ‘komoditas’ politik dari penguasa yang berwajah malaikat namun sesungguhnya berhati iblis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun