Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Falsafah” Suku Makassar-Bugis dan Jiwa Rizal Ramli

21 Februari 2014   22:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

RIZAL RAMLI memang lahir di Padang-Pulau Sumatera, tetapi saat menjelang usia tujuh tahun, ia sudah harus diasuh neneknya di Bogor-Jawa Barat karena ketika itu kedua orangtuanya telah berpulang ke Sang Maha Pencipta. Sehingga di saat itulah ia menjadi “orang Jawa”. Yakni makan, minum, tidur, dan bermain serta bersekolah di SD, SMP, dan SMA di Bogor. Lalu dilanjutkan kuliah di ITB.

Sebagai bocah yatim-piatu yang bukan berasal dari kalangan keluarga konglomerat, Rizal Ramli tentu tak bisa menikmati hidup dengan senang, tetapi bukan berarti ia harus pasrah menerima hidup melarat hingga berkarat. Tidak seperti itu!

Artinya, Rizal Ramli sudah sangat menyadari bahwa tak ada warisan berlimpah berupa harta dan benda yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya kecuali sebuah “ajaran dasar”, yakni: tangguh dan tegar berjuang hadapi hidup hingga bermanfaat bagi banyak orang.

Dengan hanya “mengantongi” sepenggal ajaran dasar dari kedua orangtuanya itulah, Rizal Ramli pun mau tak mau sudah harus bisa memulai hidupnya dengan penuh ketegaran dalam kemandirian. Termasuk di saat sedang bersedih, ia harus bisa mengusap kepedihan dan menghapus air matanya sendiri dengan tegar.

Dari situ, bocah Rizal Ramli pun bisa tumbuh secara alami dalam “tempaan alam”, hingga kemudian mampu memiliki kematangan pola pikir serta nyali yang cukup tinggi dalam bertindak. Salah satunya terlihat ketika menjadi aktivis mahasiswa, yakni bagai Bima sang ksatria, ia dengan nyali yang sangat tinggi melangkah maju di baris terdepan melawan  Rezim Korup Orde Baru (Orba).

Meski akibat dari keberaniannya itu ia harus dijebloskan selama hampir dua tahun ke dalam penjara di Sukamiskin-Bandung, namun setidaknya sejarah telah mencatat bahwa Rizal Ramli ketika itu telah berhasil menancapkan diri sebagai sosok pejuang pro-rakyat.

Seiring waktu berjalan, dengan kehidupan yang harus lebih banyak dilalui dalam kepedihan, kesedihan dan penderitaan, Rizal Ramli nyatanya mampu menjadi seorang Doktor Ekonomi (lulusan Boston University-Amerika Serikat).

Dan berkat ketegarannya berjuang yang pantang menyerah, Rizal Ramli pun akhirnya berhasil “tembus” masuk dalam Pemerintahan Presiden Gus Dur, yakni berturut-turut sebagai: Kepala Bulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan. Lalu terakhir ia “dipecat” dari jabatannya sebagai Komisaris Utama di PT Semen Gresik dengan sebuah alasan yang amat “dangkal” oleh Pemerintahan SBY, yakni lantaran berani berpihak ke rakyat melakukan unjuk-rasa dengan menentang keras kenaikan harga BBM, tahun 2008 silam.

Kendati begitu, ketegaran dan keberaniannya berjuang untuk kepentingan rakyat hingga kini tak pernah surut.  “Kualleangi tallanga natoalia. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai!” teriak Rizal Ramli di atas podium saat tampil pada acara Debat-Publik sebagai salah satu kandidat Capres 2014 Konvensi Rakyat, di Ballroom Graha Pena, Makassar, Sulawesi Selatan (Minggu, 16/2).

Sungguh, ungkapan yang diteriakkan oleh Rizal Ramli tersebut sangatlah mencerminkan kemurnian dari jiwanya sendiri. Artinya, jiwa yang dimiliki oleh Rizal Ramli selama ini sesungguhnya sangat relevan dengan motto/semboyan yang “dianut” oleh Suku Makassar-Bugis tersebut, yakni: "Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut ke Pantai”.

Semboyan tersebut sebetulnya adalah sebuah penggalan Syair Sinrili’. Sinrili’ adalah salah satu bentuk kesenian lokal Suku Makassar yang tergolong dalam seni sastra bersenandung tutur diiringi petikan kecapi.  Penggalan syair yang dijadikan motto tersebut adalah: “Takunjunga’ bangung turu’.. Nakugunciri’ gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia”, yang artinya: “Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun