Ilustrasi/Desain repro Abdul Muis Syam
SEJAK dulu hingga saat ini setiap kali turun ke lapangan, baik sebagai jurnalis maupun selaku pengamat sosial, saya kerap menemui sebuah pertanyaan dari sejumlah orang di lapisan bawah.
Begini pertanyaannya: “Kenapa ekonomi Indonesia sejak awal selalu saja tumbuhnya sangat lambat. Padahal, negara kita punya banyak uang dan punya kekayaan alam yang lebih melimpah. Ke mana semua itu? Apakah ada orang jahat (penjahat ekonomi) yang sengaja menguasai untuk kepentingan kelompoknya saja?
Saya memang sudah menjawab pertanyaan itu secara langsung ke mereka dengan mengikutkan penjelasan singkat. Misalnya dengan menggambarkan bahwa negara kita memang selalu saja kecolongan dengan menempatkan sebagian besar pejabat bermental rusak, dan lain sebagainya.
Dan saya yakin, jawaban itu tidaklah membuat mereka terlalu puas. Sebab memang saya bukanlah orang berkompeten menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Tetapi setidaknya, rakyat tentu sangat membutuhkan penjelasan riil terhadap sesuatu yang belum dipahaminya tersebut.
Olehnya itu, saya mencoba mengangkat sebuah jawaban yang telah dikemukakan Dr. Rizal Ramli, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, melalui bukunya berjudul: “Rizal Ramli Lokomotif Perubahan”, cetakan II (edisi revisi: 2009).
Dalam buku setebal 232 halaman tersebut, Rizal Ramli yang juga sempat menjabat Menteri Keuangan itu secara spesifik menggugat Mafia Berkeley sebagai kelompok yang sejak awal membuat ekonomi Indonesia jadi babak belur. Rizal Ramli menggambarkan kondisi tersebut melalui penulis bukunya itu, Didin Abidin Masud dan Edy Mulyadi.
Ia menjelaskan, bahwa istilah Mafia Berkeley ditujukan pada sejumlah menteri ekonomi yang menjadi penentu strategi pembangunan Indonesia pada awal orde Baru.
Sebelum menduduki berbagai posisi strategis di pemerintahan, mereka menimba ilmu ekonomi di Universitas California, Berkeley, pada tahun 1960-an.
Rizal Ramli menyebut tokoh sentral Mafia Berkeley adalah Widjojo Nitisastro, yang menjadi Ketua Bappenas sejak Kabinet pembangunan I, tahun 1969.
Disebutkannya, kolega Widjojo, antara lain, Ali Wardhana, Emil Salim, Sumarlin (alumnus Pittsburgh University, tapi mengikuti garis kebijakan Mafia Berkeley), dan Saleh Afiff. Radius Prawiro yang berpendidikan akuntan dari Belanda, juga masuk kelompok generasi pertama Mafia Berkeley.
Dikatakannya, sebagai konseptor dan arsitek utama pembangunan ekonomi Indonesia 1966-1997, Widjojo amat leluasa menempatkan kolega dan kadernya untuk menduduki posisi penting di berbagai kementrian. Emil Salim, Sumarlin, Saleh Afiff, diorbitkan ke posisi menteri setelah “magang” di Bappenas.
Demikian pula, katanya, generasi ekonom yang lebih muda, terus mendaki ke posisi empuk di pemerintahan setelah berkarier di Bappenas. Mereka, antara lain Adrianus Mooy, BS Moelyana, Sudradjad Djiwandono, dan Boediono.
Kebijakan makro ekonomi yang diusung Mafia Berkeley, menurut Rizal Ramli, adalah pengendalian laju inflasi lewat kebijakan fiskal dan moneter yang ketat, liberalisasi sektor keuangan –dikenal dengan istilah deregulasi dan debirokratisasi pada tahun 1980-an, liberalisasi sektor industri dan perdagangan, dan privatisasi alias penjualan aset milik negara.
Yang menarik, kehadiran B.J. Habibie yang dengan cepat merebut simpati Soeharto, membuat kubu Widjojo Cs menemukan rival yang sepadan dalam sirkulasi elit birokrasi.
Habibie, menurut Rizal Ramli, lewat "markasnya" di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga berhasil menempatkan orang-orangnya di kabinet, seperti Wardiman Djojonegoro dan Rahardi Ramelan.
Meski Habibie menjadi rival kuat dalam “memperebutkan” kursi kabinet, toh dalam cetak biru pembangunan ekonomi, posisi Mafia Berkeley tak tergoyahkan. Rizal Ramli melihat generasi kedua dan ketiga Mafia Berkeley masih bertebaran di Bappenas, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia.
“Banyak anggota dan murid Mafia Berkeley yang menduduki posisi kunci di bidang ekonomi menjadi saluran strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, Bank dunia, dan USAID,” kata Rizal Ramli dalam seminar “50 Tahun Mafia Berkeley vs Gagasan Alternatif pembangunan ekonomi indonesia”, di Jakarta, beberapa tahun lalu.
Rizal Ramli memandang, meski ditopang rezim otoriter selama lebih dari tiga dekade, Mafia Berkeley nyatanya memang gagal menjadikan Indonesia sebagai negara besar di Asia.
Rizal Ramli pun menunjuk pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, China nyaris sama, yaitu kurang dari US$100 per kapita.
Namun setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara tersebut pada tahun 2004, Indonesia mencapai sekitar US$ 1.000; Malaysia US$ 4.520; Korea Selatan US$ 14.000; Thailand US$ 2.490; Taiwan US$ 14.590; China US$ 1.500.
Dan ini sekaligus menunjukkan, bahwa ternyata kekuasaan dan peranan Mafia Berkeley yang nyaris 40 tahun itu tidaklah mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan hanya mewariskan potensi sebagai salah satu negara gagal (failed state) di Asia.
Atau dengan kata lain, Mafia Berkeley telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung rezim otoriter selama 32 tahun.
Dan hal ini menurut Rizal Ramli tentu sangat menyedihkan dan amat memprihatinkan, sebab selain ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, serta memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh.
Padahal negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, Cina dan Thailand tidak memiliki sumber daya alam yang besar seperti Indonesia.
Bahkan, menurut Rizal Ramli, di bawah pengaruh dan kekuasaan Mafia Berkeley, utang yang besar dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1.000. Dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimal serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.
Bagi Rizal Ramli, Mafia Berkeley juga gagal melakukan reformasi terhadap birokrasi dan justru mendorong pegawai negeri dan TNI untuk bertindak koruptif karena penentuan skala gaji yang sangat tidak manusiawi. Anggota dan murid Mafia Berkeley sendiri direkayasa untuk mendapatkan pendapatan yang sangat tinggi melalui penunjukan mereka sebagai komisaris di BUMN-BUMN, double/tripple billing di BI, depKeu dan Bappenas.
Dengan pendapatan yang tinggi tersebut, Rizal Ramli menilai, Mafia Berkeley tidak memiliki empati terhadap nasib pegawai negeri dan TNI sehingga tidak berupaya melakukan reformasi penggajian pegawai negeri dan TNI. “Dengan sengaja maupun tidak sengaja, mereka mendorong pegawai negeri dan TNI menjadi koruptor,” tulis Rizal Ramli dalam bukunya tersebut.
Kegagalan penting lainnya yang dilakukan oleh Mafia Berkeley adalah mengundang keterlibatan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi pada bulan oktober 1997. Keterlibatan IMF tersebut membuat krisis menjadi lebih parah.
Padahal, menurut Rizal Ramli, tanpa keterlibatan IMF pun krisis ekonomi akan tetap terjadi, tetapi skalanya akan relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara -2% sampai 0%) pada tahun 1998, tetapi keterlibatan IMF malah telah mengakibatkan ekonomi indonesia anjlok luar biasa -12,8% pada tahun 1998.
Biaya sosial ekonomis dari krisis tersebut dalam bentuk kerusuhan sosial (IMF-provoked riots), justru hanya meningkatkan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 trilliun, serta tambahan beban utang puluhan miliar dollar masih terasa sampai saat ini.
Dan ini ibarat dokter yang dimintai pertolongannya untuk menyembuhkan penyakit pasien. Dokter tersebut tak hanya gagal menyembuhkan penyakit, tetapi juga telah melakukan berbagai amputasi yang tidak perlu, karena ternyata semua itu hanya membebankan biaya kegagalannya kepada sang pasien.
Dalam menjawab berbagai kegagalan tersebut, anggota Mafia Berkeley biasanya menggunakan alasan klasik yang menyesatkan, yaitu mereka menuding bahwa semua itu adalah akibat perilaku mantan presiden Soeharto.
Rizal Ramli yang pernah dipenjara pada era Orde Baru karena aktif menentang keras pemerintahan Presiden Soeharto itu pun menampik, bahwa memang Soeharto penuh KKN, tapi berbagai kegagalan yang timbul tentunya tidak dapat dibebankan hanya kepada Soeharto.
Rizal Ramli pun menggugat Mafia Berkeley ikut bertanggungjawab karena selama ini merekalah yang merumuskan strategi, kebijakan dan terlibat dalam implementasinya. “Banyak dari berbagai kegagalan tersebut berada pada tataran sangat teknis dan operasional yang tidak dipahami oleh Soeharto,” ujar Rizal Ramli.
Adalah sangat tidak bertanggungjawab dan tidak ksatria, bisa menikmati jabatan selama 32 tahun, ikut merasakan privileges dan ekses kekuasaan Soeharto, tetapi kemudian mereka malah menimpakan semua kegagalan dan kesalahan hanya kepada Soeharto, itupun baru berani mereka katakan setelah Soeharto tidak berkuasa.
Mengapa Mafia Berkeley gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun berkuasa selama nyaris 40 tahun?
“Karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh Mafia Bekeley akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekadar kepanjangan tangan) dari kepentingan global,” ungkap Rizal Ramli. Padahal, lanjutnya lagi, tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus Washington.
Kemerosotan selama tiga dekade di Amerika Latin (1970-2000) menurut Rizal Ramli adalah contoh monumental dari kegagalan tersebut. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Konsensus Washington seperti jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan Cina berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar kekuatan ekonominya.
Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang antara negara dan swasta, serta ketergantungan utang yang minimal.
“Dua negara Asia, Indonesia dan Filipina yang patuh pada Konsensus Washington, mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen, dan ketimpangan pendapatan sangat mencolok,” kata Rizal Ramli.
Dengan memahami penjelasan di atas dari Rizal Ramli sebagai tokoh terkemuka di bidang ekonomi yang tak pernah berhenti memperjuangkan ekonomi kerakyatan ini, tentulah dapat ditebak bagaimana kondisi dan wajah ekonomi Indonesia ke depan apabila para mafia ini masih bercokol nantinya dalam pemerintahan yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H