“Itulah yang mengakibatkan tertundanya pengumuman menteri saat itu. Tadinya kan akan diumumkan sekitar jam tujuh tiga puluh malam. Tapi karena Pak Jusuf Kalla menolak Pak Rizal Ramli sehingga harus digantikan oleh Aburizal Bakrie, maka terjadi pengunduran waktu menjadi lebih jam setengah sebelas malam,” kata Abdul Rochim.
Malam itu, lanjut Abdul Rochim, Rizal Ramli sempat tiga kali ditolak oleh JK. SBY ketika itu merasa patut memasukkan Rizal Ramli sebagai menteri, sebab ekonom yang sempat membantu SBY dalam menyusun kebijakan prekonomian saat menjabat Menteri ESDM adalah Rizal Ramli.
Semula diberi pos sebagai Menko Perekonomian. Karena ditolak JK, maka SBY mengalah dan memosisikan Rizal sebagai calon Menteri Keuangan. Tapi JK kembali tidak setuju. Rizal Ramli di mata JK menyebutnya sebagai musuhnya mafia Berkeley, maka SBY pun “tunduk” dengan arahan dan penjelasan JK tersebut.
Namun SBY sebagai presiden tetap berusaha untuk tetap ingin memasukkan Rizal Ramli ke dalam kabinet. Setelah ditolak dua kali, kata Abdul Rochim, SBY berharap Rizal Ramli tetap mendapat jatah di kabinet. “SBY menawarkan posisi menteri BUMN. Tapi lagi-lagi ditolak JK,” ungkap Abdul Rochim.
Abdul Rochim menggambarkan kronologis jelang pengumuman menteri kabinet SBY itu sangat dramatis. Saat itu, katanya, Rizal Ramli sempat kontak-kontak dengan seorang kepercayaan SBY, calon menteri juga, dalam hal menyusun menteri. Sang calon menteri itu terus memberi tahu menit ke menit mengenai perkembangan dan posisi Rizal Ramli yang berubah-ubah karena ditolak-tolak terus oleh JK.
Rizal Ramli ketika itu pun mulai kesal. “Sekitar 45 menit sebelum pengumuman, Jusuf Kalla menelepon Pak Rizal Ramli. Konon saat itu, cerita pak Rizal, Pak Jusuf Kalla menelepon, tapi HP-nya dibuka pakai speaker sehingga didengar beberapa calon menteri, beramai-ramai. Saat itu juga Pak Rizal merasa dipermainkan, dan menolak tawaran Menteri BUMN. ‘Saya bukan mencari kerjaan, saya menolak’,” tutur Abdul Rachim menirukan cerita Rizal Ramli.
Dari cerita yang dikisahkan Abdul Rochim di atas, adalah satu “indikasi” betapa JK memang nampaknya amat membenci orang-orang pergerakan (aktivis) seperti Rizal Ramli yang konsisten sejak dulu sangat keras memperjuangkan ekonomi konstitusi, sekaligus sosok ekonom yang sangat anti dengan paham ekonomi liberal maupun neoliberalisme.
JK memang nampaknya harus menolak orang seperti Rizal Ramli. Sebab, apabila Rizal Ramli berhasil kembali menjadi Menko Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I ketika itu, maka JK tidak akan mendapatkan “keuntungan” apa-apa kecuali hanya mendapat gaji sebagai Wapres. Karena Rizal Ramli tentunya lebih memilih menegakkan ekonomi konstitusi dan kerakyatan, juga sudah pasti tidak akan memberi kesempatan kepada JK untuk leluasa menyuburkan perusahaan bisnisnya sebagai pengusaha.
Dengan berhasilnya JK mengeliminasi dan menganulir Rizal Ramli sebagai menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid I tersebut, membuat JK betul-betul leluasa menggunakan kekuasaannya untuk meraih keuntungan bisnisnya tanpa penghalang dari siapa-siapa, dan bahkan boleh jadi mendapat dukungan dari Menko Perekonomian pilihannya tersebut. Dan kala itu, perusahaan JK pun berhasil mendapatkan banyak mega-proyek seperti sejumlah proyek pembangkit listrik, jalan tol, bandara, dan lain-lain.
Melihat dan mengetahui itu, Presiden SBY pun tak bisa berkutik dan tak mampu berbuat banyak. Kenapa? Boleh jadi, sebagian besar cost-politics saat kampanye pasangan SBY-JK pada Pilpres 2004 tersebut adalah lebih banyak bersumber dari “kantong” JK. Dan boleh jadi pula kesuksesan kampanye pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 kemarin pun biayanya lebih banyak dikeluarkan oleh JK.
Itulah sampai mengapa suasana perekrutan menteri pada 10 tahun lalu hampir serupa dengan suasana perekrutan menteri saat ini. Di mana orang-orang dan loyalis JK mampu mengisi posisi yang sangat strategis di kementerian. Itu tidak lain menunjukkan bahwa JK-lah yang seakan-akan sebagai “presiden”, bukan SBY dan bukan pula Jokowi.