[caption id="attachment_334299" align="alignnone" width="599" caption="Ilustrasi/Desain: Abdul Muis Syam"][/caption]
PEMERINTAH setidaknya menghabiskan anggaran negara sekitar Rp350 hingga Rp400 Triliun setiap tahunnya hanya untuk subsidi energi, yakni subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan subsidi listrik.
Sayangnya, selama ini subsidi energi tersebut (khususnya BBM) tidaklah tepat sasaran. Artinya, subsidi yang sedianya diarahkan untuk masyarakat bawah (golongan miskin) itu ternyata lebih banyak dinikmati oleh golongan masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) era Presiden SBY, Jero Wacik mengaku pernah meneliti, bahwa subsidi energi seperti BBM sebanyak 77 persen dinikmati masyarakat menengah ke atas dan kaya.
“Mereka (yang 77 persen tersebut) tidak berhak mendapat subsidi. Orang punya mobil itu sudah mulai masuk kelas menengah. Kalau baru sepeda motor itu belum mampu dan hampir mampu wajib disubsidi. Mobil itu kategori mampu walaupun cicilan juga,” ujar Jero saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (5/8/2014).
Mengamati uraian di atas, ada dua hal yang menjadi titik masalah. Yakni pertama, betapa besarnya anggaran subsidi BBM yang harus disediakan negara dalam setahun, dan kedua adalah subsidi BBM tersebut 77 persen dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas atau kaya.
Pemerintah yang tidak kreatif (malas) tentu hanya punya satu cara untuk mengatasi dua titik masalah dari subsidi BBM tersebut, yakni dengan mencabut (menaikkan) harga subsidi BBM. Tipe pemerintah seperti ini, selain tidak kreatif, juga hampir dipastikan adalah termasuk tipe pemerintah yang menganut neoliberalisme.
Presiden RI ke-6, SBY menyebutkan, pemerintahan yang neolib tidak suka ada subsidi. “Sebenarnya persoalan subsidi ini selalu dihadapi dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya, bukan hanya pemerintahan ini. Memang, bagi negara yang anut sistem ekonomi yang sangat kapitalistik atau yang yang rakyat sebut neolib begitu, subsidi ini tidak disukai,” kata SBY dalam wawancara eksklusif di Youtube, Jumat (29/8/2014).
SBY kemudian memaparkan, dirinya berpendapat lain dengan pemerintahan yang ia sebut neolib tersebut. Ia menilai dan menegaskan, bahwa untuk Indonesia masih dibutuhkan subsidi.
“Untuk Indonesia, mengingat masih banyak yang miskin dan daya beli rendah, kalau subsidi itu betul-betul untuk menolong rakyat, jumlah tidak berlebihan dan tepat sasaran, saya kira tidak keliru, ini yang kita jaga betul, subsidi yang pas,” urai SBY.
Subsidi yang pas sebagaimana yang dikatakan SBY di atas nampaknya telah berhasil digali dan diterjemahkan oleh Rizal Ramli dalam sebuah bentuk ide dan gagasan sebagai jalan tengah untuk mengatasi persoalan subsidi BBM tersebut.