[caption id="attachment_341759" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/Abdul Muis Syam"][/caption]
DULU, para pejuang pergerakan kemerdekaan dan para pahlawan nasional, yakni orangtua dan nenek-nenek moyang kita, berjuang dengan gigih mempertaruhkan jiwa dan raga demi mengusir penjajah dari muka bumi Ibu Pertiwi.
Mereka dengan semangat berapi-api tanpa pamrih, bangkit dan maju melawan para kolonialis juga imperialis yang telah lama menguasai, menyedot dan melahap seluruh kekayaan alam kita.
Meski darah dan nyawa yang harus jadi taruhannya, para pejuang kita tidaklah menuntut dan mengharap apa-apa selain “Merdeka atau Mati”. Dan itulah prinsip serta tekad yang tidak bisa ditawar-tawar sedikitpun, yang penting, para penjajah harus segera angkat kaki dari negeri tercinta ini, Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia ingin mengatur dan membangun negaranya sendiri tanpa “bacok” dan pelecok dari kaum imperialis negara asing.
Dan atas nama bangsa Indonesia, Soekarno dan Moh. Hatta beserta pemuda-pemudi anak bangsa pada akhirnya pun berhasil menancapkan panji kemenangan dan memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Dan sejak di hari itulah Bangsa Indonesia menjadi Negara Merdeka dan Berdaulat.
Dalam menunaikan tugasnya sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dengan sangat tegas, ---sekali lagi dengan sangat tegas---, menanamkan sebuah prinsip dan ideologi agar Indonesia tidak sedikit pun diatur-atur dan diintervensi lagi oleh negara luar (asing) mana pun, apalagi sampai harus dijajah kembali.
Ideologi tersebut dinamai ajaran Trisakti, yakni: 1). Berdaulat dalam bidang politik; 2). Berdikari dalam bidang ekonomi; dan 3). Berkepribadian dalam budaya.
Dulu, jauh-jauh hari Jokowi sudah “memamerkan” diri sebagai sosok yang tak pernah melupakan ajaran Trisakti. “Saya selalu ingat Trisakti-nya Bung Karno. Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya,” ujar Jokowi, saat menyampaikan orasinya dalam acara Orasi Kebudayaan dan Pentas Seni Rakyat untuk memperingati Bulan Bung Karno di Tugu Proklamasi, Cikini, Jakarta, Sabtu (23/6/2012).
Dan gara-gara “menjual” ajaran Trisakti itulah salah satunya yang membuat Jokowi berhasil “laku terjual” dan dipilih oleh rakyat sebagai presiden. Artinya, rakyat menghendaki sosok yang mampu menjalankan ajaran Trisakti, Soekarno.
Sayangnya, setelah terpilih, Jokowi-JK sedikitpun tidak memperlihatkan keseriusannya menjalankan ajaran Trisakti tersebut. Dan menurut salah seorang anggota Front Nasional Marhaenis, Angga S Yusuf, janji Jokowi untuk melaksanakan Trisakti itu kini jauh panggang dari api.
Padahal, periode ini adalah kesempatan emas buat Jokowi, khususnya buat PDIP, agar dapat kembali menghidupkan Trisakti. Apalagi memang, ketika kampanye, menjalankan Trisakti adalah bagian dari janji dan misi-visi Jokow-JK . Tetapi nyatanya, sekali lagi, sungguh sayang sejuta sayang, Jokowi-JK dan PDIP (bersama KIH=Koalisi Indonesia Hebat) sepertinya lebih cenderung “menghambakan” diri di hadapan sejumlah negara asing.