Mengenai jembatan penghubung Blok G dan Blok F yang bergeser dari konstruksinya pada April 2014, Jokowi yang saat itu masih sebagai Gubernur pun seolah lepas tangan. Padahal, jembatan yang dinanti-nanti oleh pedagang Blok G ini miring sekitar 10-15 derajat karena pergeseran tersebut. “Jembatan kayak gitu urusan Dirut Pasar Jaya. Enggak usah gubernur. Itu urusan kecil kok, enggak usah gubernur,” kata dia.
Begitu pun pada Kamis, 28 Agustus 2014, Kanopi di Gedung Blok G Kompleks Balai Kota mendadak roboh, dan Jokowi yang saat itu telah menjadi Presiden terpilih enggan menjelaskan secara baik-baik. “Kanopi ditanyakan ke saya? Tanya ke Dinas Perumahan, itu bangunan tahun berapa itu?” ucapnya.
Terlebih lagi dengan kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta yang sempat heboh lantaran bus yang baru didatangkan dari negeri Tiongkok itu dalam keadaan berkarat, yang kemudian mendapat desakan dari beberapa kalangan agar segera memeriksa Jokowi selaku gubernur yang bertanggungjawab atas pengadaan bus tersebut.
Dan ketika ditanyai seputar kasus korupsi bus Transjakarta tersebut, Jokowi hanya menjawab, “itu sudah masuk wilayah hukum. Sudah masuk wilayah hukum, wilayah hukum, wilayah hukum. Sudahlah, bukan urusan saya lagi.”
Dari contoh pernyataan dan tanggapan seperti di atas menandakan, bahwa Jokowi adalah pemimpin yang tak ingin disalahkan, pemimpin yang memaksakan semua yang dikatakannya adalah benar dan yang lainnya adalah salah, pemimpin yang hanya ingin menyerahkan masalah negatif kepada orang atau pihak lain, sementara sesuatu yang positif adalah menjadi miliknya.
Jika Jokowi benar-benar bermental pemimpin cerdas yang bersahaja, arif dan bijaksana, harusnya kebiasaan berbahasa dan bergaya diplomasi seperti itu sebaiknya segera dihilangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H