Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Sampai Jkw-JK = Jokowi-Jongos Koruptor

16 Januari 2015   18:06 Diperbarui: 10 September 2018   09:56 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi by: Abdul Muis Syam)

KASIHAN sekali negara kita saat ini, punya presiden yang penampilannya merakyat tetapi kebijakannya justru lebih cenderung menyengsarakan rakyat.

Setidaknya, ungkapan tersebut adalah sebuah keprihatinan yang pernah dilontarkan oleh sejumlah tokoh pergerakan perubahan, di antaranya, Rizal Ramli dan Yusril Ihza Mahendra. Rizal Ramli menyebut demikian, sebab bukan hanya harga BBM (premium dan solar) yang Jokowi naikkan, tetapi gas elpiji, tiket kereta api, tarif dasar listrik juga dinaikkan. Bahkan raskin (beras untuk orang miskin) pun dihapus.

Sementara harga BBM jenis Pertamax dan Pertamax Plus sebagai kebutuhan kalangan atas sama sekali tidak dinaikkan harganya. “Kok yang dihajar rakyat menengah ke bawah..?” ujar Rizal Ramli. Dalam akun twitternya, Rizal Ramli menyebutkan betapa menyakitkan jika seorang presiden hanya penampilannya (yang) merakyat tetapi kebijakannya tidak berpihak kepada mayoritas rakyat.

Sosok ekonom senior yang sejak dulu memang dikenal sangat gigih memperjuangkan ekonomi kerakyatan ini pun mempertanyakan: “lebih penting mana, penampilan fisik yang merakyat atau kebijakan ekonomi yang berpihak untuk rakyat?” Hingga saat ini Rizal Ramli memang banyak mengkritik pemerintah. Namun setiap kritikannya selalu disertai dengan saran untuk solusinya.

Sayangnya, saran dan gagasan anggota dewan penasehat ekonomi di badan dunia (PBB) itu kerap dimentahkan pemerintah, sebab pemerintah saat ini sepertinya lebih tunduk kepada kepentingan “tuannya”. Hal senada juga dilontarkan Yusril Ihza Mahendra, “Sungguh menggelikan jika ada pemimpin yang penampilannya merakyat tapi kebijakannya malah untungkan kaum kapitalis dan merugikan rakyat”.

Menurut pakar hukum tata negara itu, pemimpin yang merakyat bukan dinilai dari penampilan semata, tetapi dari pemikiran, kebijakan, dan tindakan yang pro rakyat. “Pemimpin merakyat itu bukan soal penampilan tapi pemikiran, kebijakan dan tindakannya yang pro rakyat,” ujar Yusril.

Yusril menunjuk Presiden RI pertama, Soekarno adalah sebagai contoh. Bung Karno, menurut Yusril, penampilannya tidak merakyat. Pakaiannya necis, pakai jas dan dasi, kacamata, juga menyukai dansa dan tari lenso. Bung Karno juga punya mobil bagus, istana yang mentereng, koleksi lukisan, patung-patung, dan karya seni kelas dunia.

“Tapi siapa yang berani bilang pikiran, kebijakan dan tindakan Bung Karno tidak pro rakyat. Ada yang berani? Hehe,” celotehnya seraya menambahkan, bahwa yang ada saat ini hanyalah pemimpin yang penampilannya merakyat tapi kebijakannya justru menguntungkan kaum kapitalis bahkan cenderung merugikan rakyat.

Sebagaimana diketahui, saat Jokowi belum sebulan sebagai presiden dan juga belum memperlihatkan kerja maksimalnya, ia sudah langsung “menghajar” rakyat kecil dengan mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM jenis premium dan solar. Dan oleh sebagian besar kalangan menilai, kebijakan ini bisa dipastikan hanya menambah beban rakyat, tertutama rakyat miskin.

Kebijakan atau sikap Jokowi lainnya yang dianggap sangat berlawanan dari visi-misi yang ditawarkannya dan juga janji-janji yang diucapkannya saat kampanye, di antaranya adalah: pertama, merekrut menteri-menteri yang diduga kuat penganut keras neoliberalisme, yakni kaum yang tidak menghendaki adanya subsidi untuk rakyat.

Kedua, Jokowi mengangkat salah seorang kader Partai NasDem menjadi Jaksa Agung, yakni M. Prasetyo. Pengangkatan jaksa agung ini pun memunculkan kontroversi dan juga menuai kekuatiran dari banyak pihak. Salah satu kekuatiran tersebut adalah bahwa hukum sangat sulit untuk ditegakkan dan dijalankan secara adil apabila penanganan penerapan strategi dilakukan oleh orang partai politik.

Ketiga, Jokowi menunjuk Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Budi Gunawan (BG) sebagai satu-satunya sosok calon Kapolri. Padahal masih ada sejumlah polisi yang dinilai jauh lebih baik dan “bersih” dibanding BG.

Di mata banyak kalangan, Kontras misalnya, BG dipandang tak layak jadi Kapolri karena diduga kuat memiliki rekening gendut yang diperoleh secara tidak benar alias melanggar hukum. Dan memang nyatanya BG pun kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain Kontras, Relawan Dua Jari juga “mengancam” akan terus meneror Presiden Jokowi  jika BG nantinya benar-benar dilantik sebagai Kapolri. “Kalau sampai masih juga dilantik, kami akan terus meneror. Saya pribadi akan terus datang ke istana dan mengatakan ke presiden bahwa ini tidak benar. Kami ini mendukung bapak karena berkomitmen membuat Indonesia yang lebih baik dan bersih!” ujar relawan Dua Jari, Fadjroel Rachman, di istana kepresidenan, Kamis (15/1/2015).

Penetapan BG sebagai calon tunggal Kapolri yang kini telah mendapat restu dari Komisi III DPR-RI ini pun dipandang oleh publik, bahwa sepertinya pemerintahan Jokowi-JK sama sekali tak punya iktikad baik dalam hal penegakan hukum, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi.

Bahkan Jokowi kemungkinan besar akan “memaksakan” diri untuk tetap menjadikan BG sebagai Kapolri. Mengapa? Tentu sangat mudah ditebak! Jokowi Ingin Ciptakan “Zona Nyaman” Buat Kapitalis dan Koruptor? Bayangan yang paling jelas terlintas di benak banyak orang ketika mengetahui “sikap” Jokowi mulai dari merekrut menteri-menterinya, jaksa agung, hingga pada menunjuk BG sebagai calon tunggal untuk menjadi Kapolri, sepertinya adalah untuk menciptakan “zona nyaman” buat Kapitalis dan Koruptor.

Secara psikologis, BG yang pernah menjadi ajudan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, semasa menjabat Presiden RI ke-5, tentunya diyakini bisa “mengamankan” setiap “perintah maupun arahan majikannya”. Dan tunduknya BG khususnya kepada Megawati tersebut juga tentu diyakini telah menjadi “budaya loyal” yang tak perlu diragukan lagi.

Dan mengingat karena KPK saat ini sedang intens menggali kasus SKL-BLBI yang melibatkan sejumlah obligor yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, maka boleh jadi sosok BG adalah pilihan terbaik satu-satunya bagi Megawati untuk dijadikan Kapolri.

Artinya, Megawati yang sejauh ini diduga kuat ikut “bermain” pada kasus BLBI, nampaknya memang benar-benar sangat membutuhkan “benteng” yang diyakini bisa melindunginya, yaitu Kapolri.

Dan untuk di posisi ini (Kapolri) hanya BG satu-satunya yang diyakini siap untuk menyikat habis pihak-pihak yang berani menyentuh kasus BLBI tersebut. Jika tebakan dan bayangan ini benar, maka akronim Jkw-JK bisa menjadi “Jokowi-Jongos Koruptor/Kapitalis”. Aduh... jangan sampai ini benar-benar terjadi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun