[caption id="attachment_348115" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam."][/caption]
Sekilas Tentang Kasus BLBI:
SAAT terjadi krisis moneter tahun 1998, Bank Indonesia menggelontorkan uang untuk membantu 48 bank sebesar Rp.147,7 Triliun. Bantuan ini kemudian dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Belakangan, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada beberapa obligor penerima BLBI, padahal kewajiban utang sejumlah obligor tersebut belum terpenuhi.
Seperti diketahui, SKL itu dikeluarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Dan saat itu, presiden yang menjabat adalah Megawati Soekarnoputri.
Meski debitor BLBI hanya membayar tunai 30 persen kewajibannya dan 70 persen dalam bentuk sertifikat aset kepada BPPN, namun berkat diterbitkannya inpres tentang release and discharge serta SKL itu, sejumlah obligor itu pun dianggap sudah menyelesaikan utangnya.
Inpres serta SKL itu pula kemudian yang menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung untuk segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) kepada beberapa obligor yang dianggap bermasalah.
Padahal berdasarkan hasil audit BPK, akibat BLBI ini negara merugi sebesar Rp.138,4 Triliun. BPK menyatakan, penggunaan dana tersebut tak jelas ke mana. Sementara menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai kasus BLBI bahkan membuat negara telah mengalami kerugian sebesar Rp. 600 Triliun.
Sebab, menurut Fitra, setiap tahunnya pemerintah melalui APBN harus mengalokasikan anggaran sekitar Rp.60 Triliun hanya untuk membayar bunga (utang) sejumlah konglomerat atau si obligor BLBI tersebut. Dan pembayaran utang obligor yang menggunakan uang rakyat tersebut telah berlangsung dari tahun 2003-2013, yakni sejak zaman Menteri Keuangan: Boediono, Sri Mulyani, Agus Matrowardojo hingga Chatib Basri, yang totalnya mencapai Rp. 640 Triliun.
Karena mencium adanya ketidak-beresan atas dikeluarkannya SKL tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) pun menggali dan menyidik masalah BLBI ini. Bahkan masalah ini dianggap sebagai kasus extra-ordinary karena identik dengan perampokan uang negara dalam jumlah ratusan triliun yang dilakukan secara berjamaah.
Apalagi setelah diteliti, Inpres No 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 itu ternyata bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus BLBI “Malpraktek” Megawati?
KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, pernah berjanji untuk bersungguh-sungguh ingin menuntaskan kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2015 ini juga.