[caption id="attachment_348484" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam"][/caption]
MALAM tadi saat kutulis judul artikel ini, ada suara cak... cak... cak... cak secara bersamaan dari dua ekor cicak. Mendengar itu, bulu kudukku sempat berdiri, seakan kemudian saya merasa berada di dalam hutan belantara, dan terasa ada binatang buas seperti buaya, serigala, harimau, ular, dan bahkan banteng yang terusik dengan celoteh cicak tersebut.
Sebetulnya, bukan hanya malam tadi saya (dan mungkin kita semua) merasa berada di dalam hutan. Tapi ketika konflik KPK versus POLRI terjadi, maka sejak itu sepertinya kita sudah merasa negeri ini menjelma bagai hutan belantara. Apakah karena partai penguasa saat ini berlambang seekor kepala banteng? Ataukah karena pemimpin kita saat ini adalah sarjana kehutanan...??? Entahlah..???
Yang jelas konflik KPK-POLRI setidaknya telah mengindikasikan kepada kita bahwa persoalan hukum “tingkat tinggi”, terutama masalah korupsi, cenderung diseret ke ranah politik. Mengapa?
Karena sejauh ini menurut saya, sesungguhnya ranah politik kita saat ini sudah berubah wujud, yakni bisa diibaratkan sudah menjadi hutan belantara. Para penghuninya pun lebih banyak menganut hukum rimba: siapa yang berkuasa dan kuat (termasuk bermodal besar alias berkantong tebal) maka dialah pemenangnya.
Makanya tak perlu heran jika hukum kita kerap bisa dilumpuhkan oleh orang-orang berkantong tebal, dan menjadi perkasa di hadapan orang yang tak “bermodal”.
Dalam konflik KPK-POLRI, saya mencoba untuk tidak membela salah satu institusi. Saya hanya mencoba ingin mengingatkan “kesepakatan” pandangan kita bersama, yakni kita sepakat bahwa negeri ini sudah banyak dipenuhi koruptor. Sehingga tentu sangat perlu dilakukan pemberantasan korupsi.
Dan kita jangan lupa, bahwa salah satu alasan eksistensi atau dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah karena kinerja Kepolisian dan Kejaksaan di masa lalu dalam menangani masalah korupsi sangat rendah.
Bahkan dalam sebuah acara mengenai hukum di salah satu stasiun tv, mantan Ketua KPK pertama, Taufiqqurahman Ruki, menilai KPK dibentuk karena penanganan korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan boleh dikata nol.
Bicara mengenai jumlah personil, KPK memang hanyalah lembaga kecil dibanding Kepolisian. Tetapi, menurut Ruki, eksistensi KPK harus sebisanya dipertahankan. “Sebab pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang harus dilakukan kalau tidak ingin negeri ini hancur,” katanya.
Tapi mampukah KPK melakukan tugasnya sebagai pemberantas korupsi di saat masalah-masalah korupsi di negara ini lebih banyak diseret ke ranah politik?
Pertanyaan ini sebetulnya bisa diterjemahkan bahwa betapa sulitnya para komisioner KPK saat ini menunaikan tugasnya. Sebab, para koruptor memiliki dua pilihan tempat pelarian, yakni lari ke luar negeri, atau lari “berlindung” di hutan belantara (di ranah politik), yang di dalamnya cenderung menganut hukum rimba.
Koruptor yang lari ke luar negeri mungkin KPK masih punya “nafas panjang” untuk mengejarnya. Namun jika koruptor lari bersembunyi ke hutan belantara (ke ranah politik) untuk “menjelma” menjadi seorang pejabat negara, maka di saat itu KPK rasa-rasanya harus lebih dulu menyiapkan jantung cadangan jika ingin serius mengejarnya, sebab di sana berlaku hukum rimba.
Di sinilah sebetulnya harus cermat dan bijak untuk kita pahami, bahwa KPK boleh dikata sebetulnya tidak bermaksud bermain di ranah politik. Mereka (KPK) terpaksa harus berada di ranah politik karena sedang berusaha menghalau “target buruannya” yang sedang terindikasi akan lari “bersembunyi” ke hutan belantara tersebut.
Sehingga hal inilah yang kadang membuat kita salah paham, kemudian memicu terjadinya sebuah konflik karena KPK dinilai berpolitik. Padahal sekali lagi, KPK hanya tak ingin “buruannya” berhasil melakukan pelarian ke dalam hutan belantara. Sebab jika target berhasil masuk ke dalam lingkaran kekuasaan politik, maka KPK sudah pasti sangat sulit untuk berbuat banyak.
Jadi memang seharusnya KPK jangan pernah ciut apalagi sampai patah langkah untuk terus mengejar ke mana pun para koruptor itu “bersembunyi” meski harus berhadapan dengan buaya atau banteng sekalipun. Justru menurut tokoh pergerakan perubahan, Rizal Ramli, upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari pusat-pusat kekuasaan.
Menurutnya, ikan itu busuk karena dimulai dari kepala, bukan dari ekor. “Jadi korupsi harus dibersihkan dimulai dari istana dan pusat-pusat kekuasaan,” tegas Rizal Ramli.
Sebetulnya apabila benar-benar menginginkan negara ini bersih dari korupsi, maka rakyat harus ikut menggulung lengan baju lalu kerja... kerja... dan kerja bersama-sama dengan KPK untuk berburu koruptor hingga ke hutan belantara sekali pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H