Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Berburu" Koruptor di Atas Hukum Rimba

29 Januari 2015   13:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422487242569642474

Pertanyaan ini sebetulnya bisa diterjemahkan bahwa betapa sulitnya para komisioner KPK saat ini menunaikan tugasnya. Sebab, para koruptor memiliki dua pilihan tempat pelarian, yakni lari ke luar negeri, atau lari “berlindung” di hutan belantara (di ranah politik), yang di dalamnya cenderung menganut hukum rimba.

Koruptor yang lari ke luar negeri mungkin KPK masih punya “nafas panjang” untuk mengejarnya. Namun jika koruptor lari bersembunyi ke hutan belantara (ke ranah politik) untuk  “menjelma” menjadi seorang pejabat negara, maka di saat itu KPK rasa-rasanya harus lebih dulu menyiapkan jantung cadangan jika ingin serius mengejarnya, sebab di sana berlaku hukum rimba.

Di sinilah sebetulnya harus cermat dan bijak untuk kita pahami, bahwa KPK boleh dikata sebetulnya tidak bermaksud bermain di ranah politik. Mereka (KPK) terpaksa harus berada di ranah politik karena sedang berusaha menghalau “target buruannya” yang sedang terindikasi akan lari “bersembunyi” ke hutan belantara tersebut.

Sehingga hal inilah yang kadang membuat kita salah paham, kemudian memicu terjadinya sebuah konflik karena KPK dinilai berpolitik. Padahal sekali lagi, KPK hanya tak ingin “buruannya” berhasil melakukan pelarian ke dalam hutan belantara. Sebab jika target berhasil masuk ke dalam lingkaran kekuasaan politik, maka KPK sudah pasti sangat sulit untuk berbuat banyak.

Jadi memang seharusnya KPK jangan pernah ciut apalagi sampai patah langkah untuk terus mengejar ke mana pun para koruptor itu “bersembunyi” meski harus berhadapan dengan buaya atau banteng sekalipun. Justru menurut tokoh pergerakan perubahan, Rizal Ramli, upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari pusat-pusat kekuasaan.

Menurutnya, ikan itu busuk karena dimulai dari kepala, bukan dari ekor. “Jadi korupsi harus dibersihkan dimulai dari istana dan pusat-pusat kekuasaan,” tegas Rizal Ramli.

Sebetulnya apabila benar-benar menginginkan negara ini bersih dari korupsi, maka rakyat harus ikut menggulung lengan baju lalu kerja... kerja... dan kerja bersama-sama dengan KPK untuk berburu koruptor hingga ke hutan belantara sekali pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun