Mohon tunggu...
Amsulistiani
Amsulistiani Mohon Tunggu... Freelancer - Robotika, Inovasi Teknologi, Kerja di Kapal Pesiar, Tinggal dan Belajar di Jerman

Profil Penulis: Saya Amsulistiani, ETO Trainee Kapal Pesiar AIDA milik Jerman. Saat di Indonesia, saya menyibukkan diri pada Pendidikan Robotika dan Inovasi Teknologi sampai pelosok Indonesia. Saya percaya dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penguasaan teknologi mulai sekarang, akan membentuk Indonesia yang lebih tertata di masa depan. Bagaimana membentuk teknologi Indonesia 10 tahun ke depan adalah dengan membentuk sistem dan kemudahan akses belajar dan praktek teknologi generasi generasi kita dari sekarang. Olehnya itu, saya buka RoemahRobot ProAction, membentuk kurikulumnya, dan melebur sistem belajarnya melalui platlform online di www.skilledu.id Konsepnya, materi materi dan kelas oleh RoemahRobot ProAction mencakup: 1. Kelas Pelatihan Siap Kerja di Bidang Robotika Dasar dan Inovasi Teknologi 2. Kelas Skill Robotika & Inovasi Teknologi untuk semua usia 3. Kelas Persiapan Kerja ke Kapal Pesiar Dunia 4. Kelas Persiapan Bekerja dan Belajar ke Jerman Karena dari latar belakang pendidikan teknik elektro, bekerja di kapal pesiar Jerman, beberapa informasi yang memudahkan untuk akses bekerja di kapal pesiar dan untuk tinggal dan belajar di Jerman saya bagi kepada pembaca melalui tulisan tulisan saya di kompasiana. Harapan saya, makin banyak kita mengalami hal hal baik, makin tergerak kita untuk turut menularkannya. Referensi https://amsulistiani.com/courses/ fb dan ig: Amsulistiani +628115995950

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi Pemerintahan Indonesia Kurang Bersahabat Terutama untuk Indonesia Timur

16 September 2020   16:16 Diperbarui: 16 September 2020   16:30 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi Pemerintahan Indonesia Kurang Bersahabat Terutama untuk Indonesia Timur. Selain Menceritakan Banyak Pengalaman Pahit Saya, Saya Coba Sarankan Solusinya.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari tulisan ini, bukan untuk kembali ke kegelapan masa lalu, tetapi pengalaman ini dapat kita gunakan sebagai rujukan untuk memperbaiki masa depan.Di era digital ini, urusan administrasi dan persuratan serta validasi data harusnya bisa menjadi lebih mudah dan akurat. Namun belum sepenuhnya diimplementasikan ke kepengurusan birokrasi pemerintah Indonesia.

Sebagai contoh, saya coba berbagi pengalaman pahit saya Perihal kesulitan kesulitan yang pernah saya alami ketika berurusan dengan birokrasi Indonesia.

Pengalaman Didenda 29 Juta Overstay Karena Tidak Diberikan Informasi di Imigrasi Kedatangan, Bahkan Tidak Diberikan Informasi Yang Baik Ketika Sudah Melapor ke Kantor Imigrasi Kota Setempat.

Agustus 2019 lalu, calon suami (saat itu masih calon suami) dari Jerman mengunjungi saya ke Indonesia. Setelah baca baca di Internet, kami memahami bahwa suami dapat membayar di imigrasi saat kedatangan untuk bisa memperpanjang visa tinggal di Indonesia (saat itu suami membayar 500.000 saat masuk imigrasi di Jakarta).

Dua minggu setelah kedatangan di Indonesia, kami ke Imigrasi Surabaya, dan oleh petugas (petugas saat itu perempuan, berkacamata, saya lupa namanya) memberikan informasi bahwa suami dapat tinggal di Indonesia sampai 2 bulan. 

Dengan pembawaan terburu buru (karena hampir jam istirahat makan siang, barangkali) dan jutek judes, demikian informasi yang kami dapatkan. Kesimpulan kami dari penjelasan staff tersebut, suami dapat tinggal 2 bulan. Sehingga kami memesan tiket ke Kuala Lumpur setelah 2 bulan suami di Indonesia. 

Ketika akan ke Kualara Lumpur. Di Imigrasi Makassar, suami tidak dapat melewati imigrasi Makassar dikarenakan overstay. Kami shocked. Petugas Imigrasi Makassar tidak menerima aduan kami bahwa ini sepenuhnya bukan kesalahan kami. Kami telah mencoba sesuai informasi yang kami peroleh ke Imigrasi di mana saja di Indonesia setelah 2 minggu kedatangan. 29 hari dinyatakan overstay oleh kesalahan yang sepenuhnya bukan hanya kesalahan kami.

Akhirnya tiket kami hangus. Dengan terburu buru, kami booking tiket ke Kuala Lumpur untuk malam itu juga berangkat dari Jakarta. Sehingga kami harus terbang dari Makassar ke Jakarta, membayar denda overstay 29juta di Jakarta. Ancaman dari petugas imigrasi adalah, bertambah hari, suami akan membayar sebesar 1juta rupiah per hari. Total kerugian kami saat itu mencapai 50juta rupiah.

Ketika kembali ke Indonesia dari Kuala Lumpur melalui bandara Makassar, kami masih ditahan, diinterogasi di ruang imigrasi, terkesan dibentak bentak, dan intinya adalah semua kesalahan adalah kesalahan kami. Saya hanya diam saja saat itu, saya terjemahkan ke suami sebagai bentuk pemberitahuan saja. Liburan kami di Kuala Lumpur ketika itu terpengaruh oleh pengalaman buruk membayar denda overstay.

Ternyata bukan hanya pengalaman kami, di internet berseliweran, pengalaman pengalaman turis dan orang asing di Indonesia yang tidak memperoleh informasi yang baik, membayar overstay yang luar biasa banyaknya, dan sampai saat ini tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai hal ini.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka pantas saja jika reputasi birokrasi dan keimigrasian kita tidak terlalu baik di mata dunia.

Saya berharap, pemerintahan kita akan dapat setara dengan pemerintahan negara modern yang mampu mengayomi rakyatnya, bukan sebaliknya.

Pertanyaan yang agak mengganggu saya (dan mungkin banyak pihak yang juga pernah mengalami) mengenai prosedur keimigrasian visa on arrival seperti kasus suami saya:

  1. Turis/Pendatang dari negara maju diberikan visa on arrival gratis selama 30 hari
  2. Turis/Pendatang dari negara maju dapat memperpanjang visa gratis lebih dari 1 bulan jika membayar tambahan sebesar 500.000 IDR atau 30 euro saat kedatangan (Syaratnya adalah dengan melapor ke imigrasi setempat maksimal 2 minggu setelah di Indonesia)
  3. Overstay sebesar 1juta/hari akan dikenakan jika, baik pada status di point 1 dan 2, lebih dari 30 hari tinggal di Indonesia.

Lalu apa gunanya, turis/pendatang membayar biaya tambahan di imigrasi bandara di status di point 2 (seperti yang terjadi pada kami, bahkan pun kami juga ke imigrasi kota setempat kami berada setelah 2 minggu), jika kemudian akan dikenakan denda overstay yang sama besarnya.

Kejadian pengalaman teman saya yang orang Jerman menghadiri pernikahan di Indonesia, rencana tinggal hanya 1 minggu di Indonesia, pun bahkan diminta membayar sebagaimana status di point 2. You see my point, right? This is beyond funny, yet embarassing.

Mengapa urusan visa on arrival di keimigrasian ini tidak dibuat simple dan membuat nyaman semua pihak?

Misalnya Dengan Cara Berikut:

  • Memberlakukan membayar visa perpanjangan hanya di imigrasi kota setempat (bukan di imigrasi bandara), dengan lama waktu pengurusan tidak menguras waktu ke dua belah pihak. Mengapa harus dibikin ribet jika semua data sudah ada di server?
  • Memberikan penjelasan sebaik mungkin ketika turis/pendatang tiba, mengenai status visa di point 1 dan 2

Pengalaman Mengurus Legalisir SKBM dan Akta Lahir

Mengenai SKBM, baik, saya langsung saja, bagaimana dan apa yang harus kami hadapi sebagai orang Indonesia yang tidak tinggal di Jakarta:

  • Ambil surat keterangan di RT/RW
  • Mengurus ke Kelurahan
  • Kemudian ke Kecamatan
  • Setelah itu ke Kantor Urusan Agama
  • Kemudian ke Kantor Catatan Sipil
  • Oleh KUA, diharuskan ke kantor propinsi
  • Kemudian setelah itu, SKBM harus dibawa ke kantor kementrian (yang hanya ada di Jakarta) untuk dilegalisir. Harus di Jakarta. Harus datang sendiri ke Jakarta.

Mengurus Legalisir Akta Lahir

  • Laporan ke Kantor Capil setempat
  • Akta Lahir harus dilegalisir ke kantor kementrian, yang hanya ada di Jakarta. Harus di Jakarta. Harus datang sendiri ke Jakarta.

Saya harus melewati 6 jenis kantor pemerintahan, bukan untuk selesai, tetapi untuk dapat dibawa ke kantor kementrian yang hanya ada di Jakarta. Sebelum mencapai Jakarta, situasi tempat tinggal saya, bahkan ada RT/RW menuju ke kantor desa itu harus menyeberang pulau, ke kantor kecamatan juga menyeberang pulau, kemudian ke setiap kantor, harus menyeberang pulau. Pedih? Belum cukup sampai di situ saja.

Dan untuk 1 jenis kantor pemerintahan tersebut, tipis harapan jika urusan akan selesai dalam beberapa menit saja, hitungannya hari. Untuk 1 jenis kantor, perjalanan yang kami tempuh, menyeberangi sungai dan laut, harus berkali kali dilakukan, kami harus berkali kali pulang pergi satu jenis kantor pemerintahan.

Yang mana semuanya harus dilewati, hanya untuk menuju ke Jakarta dan fight di sana, mendatangi kantor kementrian, untuk 1 stempel legalisir.

Pertanyaan solutif saya (dan mungkin kebanyakan orang yang berpikir sama dengan saya):

Mengapa setiap kantor pemerintahan yang sudah ada (desa, kelurahan, kecamatan, KUA, Capil, Propinsi) di setiap daerah tidak dimaksimalkan sebagai yang berwenang mewakili kementrian melegalisir? Toh datanya sama, dan yang paling valid situasinya adalah yang paling dekat dengan warganya sendiri, dari bawah, dari RT/RT/Desa. Bukan kebalikannya.

Harusnya malah kementrian yang meminta/collect informasi paling valid dari desa (dari paling bawah), bukan sebaliknya.

Harusnya dengan data kita yang sudah 'terintegrasi', kita cukup datang ke salah satu kantor terdekat di atas saja. Tidak harus dipimpong seperti sistem yang diterapkan sekarang.

Jangan tanya berapa lama waktu dibutuhkan untuk memperoleh SKBM saya sampai dilegalisir, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk itu.

Pengalaman Mengurus Masa Layar

Sebagai pelaut, berurusan dengan KSOP adalah hal lumrah, baik untuk urusan kepengurusan masa layar dan buku pelaut. Sejauh ini, sekarang, pelayanan KSOP untuk mengurus masa layar lebih baik dari sebelumnya. Namun jika kita bisa menjadi lebih lebih baik, why not?

Berikut sedikit masukan:

  • Printout bst & buku pelaut untuk mengurus masa layar harusnya sudah tidak diperlukan lagi, mengingat BST dan Buku Pelaut sudah online
  • Masa Layar sudah online, which is sangat membanggakan. Namun ada baiknya jika pelaut dapat melaporkan on dan off semuanya secara online tanpa harus berkunjung ke KSOP lagi. Dengan begini, KSOP dapat dimaksimalkan untuk urusan yang tidak memungkinkan online, seperti kehilangan buku pelaut atau pengaduan pengaduan.
  • Masih banyak urusan kesyahbandaran di tiap pelabuhan di Indonesia yang dapat diselesaikan jika hal hal yang bersifat administratif dapat diselesaikan secara online dari mana saja.
  • Solusi ini akan baik bagi KSOP dan bagi Pelaut sendiri

Pengalaman Mengurus SKCK

Terakhir mengurus SKCK di bulan ini di kota Baubau, prosedur sudah dibuat sangat mudah. Mendaftar online atau bisa langsung ke POLDA dan POLRES setempat. Hanya bermodalkan copy KTP, SKCK langsung diprint jadi tidak sampai 5 menit (hanya saja sayangnya di beberapa desa dan kota di Timur Indonesia, tetap, kami masih harus bersampan menyeberang pulau padahal ada kantor polisi pelaksana).

Melihat kemudahan ini, sebenarnya, arah menuju total online (entah melalui aplikasi atau platform pemerintahan) memungkinkan untuk dilakukan. Sehingga berkunjung ke kantor kantor pemerintahan ke depannya hanya untuk masalah urgent non administratif.

Tetapi, sayang sekali, tidak demikian pengalaman teman saya yang berdomisili di kota lain. Dari kota Makassar, yang bersangkutan harus pulang ke kampungnya di Sidrap (atau di luar Makassar), hanya untuk mengurus SKCK. Padahal, dengan data yang sudah terintegrasi sekarang ini, pengurusan SKCK sudah bisa dari mana saja, mengingat kita semua warga Indonesia kan?

Pengalaman Mengurus KTP

Saya pernah berbagi di facebook tahun 2017 (kalau tidak salah ingat) mengenai pengalaman 'dipersulit' oleh staff CAPIL Kota Baubau ketika hendak mengurus KTP, bahkan ujung ujung hasilnya, karena ancaman dan kesulitan yang dihasilkan mereka ke saya, sampai saya laporkan melalui email ke kementrian, tanda tangan saya dipalsukan, bahkan surat pernyataan atas nama saya juga dipalsukan dan dilaporkan ke kementrian bahwa saya telah mengakui kesalahan saya, yang mana surat pernyataan tersebut tidak pernah saya buat, tidak pernah saya tanda tangani.

Karena saya lebih sering ke luar kota, hal ini tidak dapat saya follow up maksimal. Kemudian tidak saya ungkit lagi setelah kemudian di tahun 2019, KTP saya baru diberikan.

Saya masih menyimpan email koordinasi laporan saya ke kementrian. Surat pernyataan palsu, dan kekejian staff CAPIL Kota Baubau saat itu terhadap saya. Dan saya yakin, kekejian dan kekejaman birokrasi seperti ini bukan hanya terhadap saya, tetapi kepada banyak warga kota Baubau saat itu.

Menurut adik saya, yang memang lebih memilih tinggal di Kota Baubau sebagai jurnalis, urusan administrasi Kota Baubau saat ini telah dibenahi dan lebih baik dari sebelum sebelumnya.

Jika Setiap Situasi Harus Dibawa Oleh Rayat Sendiri ke Jakarta, Pantas Saja Jakarta/Ibukota Penuh

  • Jika setiap ada masalah dengan dokumen dan identitas, kami diharuskan kembali ke kampung halaman untuk mengurus, lalu apa artinya KTP Online? 
  • Jika setiap kantor pemerintahan dari level paling bawah RT/RW, Desa, Kelurahan, Kecamatan, Kota, Kabupaten, Propinsi, bahkan sampai pusat tidak dapat berkoordinasi satu sama lain, lalu untuk apa KTP Online?
  • Jika setiap permasalahan harus dibawa ke Jakarta oleh rakyat sendiri, lalu untuk apa ada kantor kantor pemerintahan dari level RT RW Desa sampai ke Propinsi?
  • Bukankah harusnya di era digital saat ini, kita bisa lebih banyak menyelesaikan masalah, dan move on menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lainnya?

Kerugian kerugian yang telah diakibatkan oleh birokrasi pemerintahan kita dari level bawah sampai atas bukan saja berdampak secara moril terhadap warga, tetapi juga secara materil. Dan ini berlangsung sudah sangat lama.

Sedih, tetapi rasa rasanya, seringkali saya merasa ketika merdeka dari penjajah puluhan tahun yang lalu, kami sebagai warga Indonesia yang tidak memiliki posisi strategis di pemerintahan, dijajah lebih sadis lagi oleh sesama kita sendiri melalui lembaga yang namanya pemerintahan.

Pengalaman pengalaman ketidakadilan yang saya alami sendiri di atas, hanya 1 dari sekian banyak korban korban birokrasi di Indonesia.

Akankah kita biarkan saja? Atau berbuat sesuatu untuk mengubahnya menjadi lebih baik?

p.s: Namun tidak dipungkiri bahwa perbaikan dan kemajuan urusan birokrasi Indonesia telah menjadi jauh lebih baik beberapa tahun belakangan ini. Awalnya saya hendak diam saja, dan terus mencoba survive ketika akan harus berurusan dengan birokrasi dan pemerintahan.

Namun perubahan dan perbaikan yang tampak beberapa tahun belakangan ini membuat orang seperti saya percaya dan akhirnya mau bersuara.

Tidak mungkin saya kemudian beranikan diri menulis ini jika tidak didasarkan pada kepercayaan atas pengamatan saya terhadap fakta bahwa Indonesia sedang berbenah menjadi jauh lebih baik. Dan ini harus dilakukan bersama sama. Pemerintah saat ini butuh kita untuk bersama-sama mereka memperbaiki keadaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun