Ku harap besok, bocah bakal mahasiswa nanti, jangan memaksakan diri tuk mengejar prodi berbintang yang membuat mogok semester... Â
Tepat saya di jenjang akhir sekolah menengah atas, menjelang ujian bersama masuk perguruan tinggi, nyaris semua buku teman yang saya pinjam buat belajar fisika; ujian mekanika Newton.Â
Tak sengaja pula ketika dibuka perlahan, ada coretan teman yang bertuliskan "Jurusan Geodesi! Sukses!" tulisan yang terkadang menghantui rasa dengki saya, akibat saya belum tahu kemanakah pikiranku terus dilayarkan.Â
Lanjut kuliah atau menjadi pengajar les privat? Karena saya lebih senang mengajar daripada diajar meski tetap saja kurang ajar.
Yang saya permasalahkan bukan sifat kurang ajar-nya. Namun, ihwal jurusan itu. Mengapa? Semua pasti bertanya-tanya apa yang salah dengan jurusannya, orangnya, ataukah saya yang bermasalah. Ah! Kronologi memilih prodi dijelaskan runtut oleh teman saya seusai saya bertanya, "Kok, milih jurusan itu? Kamu suka?"
Namanya juga nafsu, berkehendak seadanya tanpa ragu-ragu harus mempertimbangkan dahulu. Hmm... dia memilih jurusan itu karena kecintaan dan katanya sungguh mapan lahan pekerjaannya.Â
Astagfirullah, lagi-lagi membincangkan karier. Bukan sekedar karier saja. Menurutnya, jurusan itu lebih favorit dan terkesan keren dengan kata "Geo" seakan-akan temen saya terjerumus oleh elitnya bahasa Inggris.Â
Padahal, artinya tetap saja ilmu kebumian; petani juga belajar ilmu bumi bahkan tumbuh-tumbuhan sekalipun. Lantas, saya berpikir jernih. Oh, mungkin dia ingin jadi petani berkualitas unggul dengan ilmu-ilmu perkuliahan. Aku sumringah.
Agar saya pribadi mendapat wawasan tentang bagaimana prodi yang tepat untuk diri sendiri, saya mulai menginterogasi teman-teman.
"Kalo aku paling ngambil prodi Fisika Murni.."
"Saya mah seneng prodi Kedokteran Spesialis. Wow..."