Sebelum detik-detik menuju pukul 00.00 waktu setempat, aku masih berbaring santai di perebahan. Dari penjuru ruang kamar, temanku ngobrol-ngobrol tentang rencana tahun baru nanti. Ada sekitar satu jam-an mereka tiada lelahnya ingin begini, ingin begitu; yang penting tahun baru musti meriah. Sehingga aku terbangun gara-gara bahan obrolannya memancing aku untuk ikut serta memeriahkan tahun baru.Â
Aku garuk kepala, bingung, dan tak tahu harus melalang-buana kemana. Ada yang bilang, "Gausah jalan-jalan, mending beli jagung bakar aja." Semua serentak geleng kepala. Ah, sudah biasa.
Detik terus berjalan, merangkak sampai di titik dua belas. Debat kusir mereka takkan berhenti sebelum rencana dadakan itu terealisasi. Beragam argumen dimuntahkan begitu saja. Tak ada pihak kiri atau kanan, semuanya menurut koridor nafsunya masing-masing. Aku sembari menengok jam dinding, menengok lagi, menengok lagi. Memaksaku ingin berujar,
"Eh, kalau begini terus, mau sampai kapan? Mau nungguin besok? Hah, ini perayaan setahun sekali."
Aku melerai mereka dengan pertanyaan agak nyinyir. Coba bayangkan, yang satu ingin bakar jagung, yang satu ingin beli petasan, yang satu mau tiup terompet, yang satu ingin rayakan di kaffe, sementara aku ingin mereka semua diam, tidak berisik, dan usahakan omongan tadi tidak hanya berstatus "wacana".
Bodohnya, kesalahan teknis itu muncul dari mereka yang tidak menjadwalkan dari jauh-jauh hari. Uh, menyebalkan sekali; di saat yang lain ceria, tertawa riang, dan menatap langit penuh sorak-sorai, temanku tetap bersikukuh pada nafsunya sendiri padahal waktu terlalu sempit untuk mengikuti apa kata keinginan mereka semua. lalu, aku mundur dari sekongkolan wacana, pergi ke tempat tenang, buka-buka hape, sekadar intai-intai status di media sosial; barangkali lebih asyik dan seru.
Di kolom timeline story, kawan-kawanku mayoritas menampilkan layar hitam penuh tulisan ucapan atau harapan kelak tahun baru, ada yang angka 2-0-1-9, ada pula yang video kembang api saling mencuat. Satu-satu dibuka, ada sedikit buffering. Sembari menanti video terputar, aku bicara pada sebelahku;
"Kenapa ya dari tahun ke tahun kalau merayakan tahun baru pasti kembang api jadi maskot utama?"
Teman sebelahku lantas menoleh, lekat-lekat menatap cerlak wajahku, "Ya, supaya langit jadi ramai saja." Ia menghela nafas. "Kan kalau sepi, acara jadi garing, cringe."
"Emang kalau gak meriah, tahun baru bakal ditunda esoknya, lusanya, atau sampai benar-benar wah?" aku makin bertanya-tanya. Bukannya aku ingin mem-filosofi makna kembang api, tapi apa itu suatu keharusan dalam pergantian tahun? Temanku terdiam, melongo langit-langit kamar.
Pada hakikatnya, tahun baru itu hanya sekadar ganti tanggal, ganti hari, bisa juga ganti menit ataukah detik. Inilah yang membuat penjaja kalender tahunan muncul, menyebar, berserakan di kumpulan manusia demi terjualnya sampai ludes habis; itung-itung buat nambah duit. Namun, maaf aku bukanlah pengguna kalender begitu-an, aku masih pecinta kalender digital.