Seketika itu, usai aku melihat isi story kawan-kawan media sosial memuat berbagai ucapan, harapan, perayaan, atau kembang api sekalipun di tahun baru, aku tidak dengki atau merasa iri. Sebab, dari tahun ke tahun ya "gitu-gitu doang": bakar jagung, daging-dagingan, menonton pertunjukan mercon di langit, ada yang nyewa villa, atau ke tempat-tempat rekreasi. Aku sudah alami hampir semuanya. Yang belum tinggal nyewa villa soalnya butuh budget berkali lipat. Uh...
Yang aku cermati ialah status mereka perihal harapan di tahun baru, buat apa? Sementara, dari 365 hari yang dipilih hanyalah hari terakhir untuk memohon harapan hari esoknya. Aku bertanya, "Kenapa buat harapan malah di akhir tahun? Kenapa gak dari kemarin-kemarin aja? Kan, sama-sama hari esok. Yang beda cuma kalendernya aja..."
Ah, akhirnya aku berhipotesis bahwa mereka jarang mencipta harapan di hari-hari sebelumnya. Sebab, yang mereka ungkap di status ya tentang resolusi tahun baru, bukan resolusi detik baru. Bukankah suatu kejahilan yang terlalu percaya tahun baru akan mengamini doanya. Semestinya, buatlah harapan untuk detik baru, bukan hanya tahun baru, meski sah-sah saja berharap demikian di waktu-waktu tersebut.
"Ngapain aku harus ribet-ribet menyiapkan ini-itu buat kehadiran tahun baru -- yang sama sekali bukanlah tamu istimewa?" aku merasa kesal. Melihat waktu ingin beranjak beberapa detik lagi menuju pergiliran tahun, ternyata mereka hanya wacana. Hasil akhir diskusi ialah keluar rumah, nonton kembang api, dibuat status dengan caption, "Tahun baru gak-kemana-mana, hufftt... [emot sedih]" Ya, begitu-lah serba-serbi kisah yang menyedihkan; aku terharu.
Sehingga aku berpikir, "Jangan jadikan setiap detik adalah sia-sia." Memang benar adanya. Karena waktu bagaikan emas permata yang mahalnya minta ampun. Bila terlewat sekian detik saja, terbesit di akal, "Kenapa aku gak nge-lakuin ini aja ya? -- ibarat catur, merupakan salah langkah."
Lalu, aku bergegas mengobrak-abrik buku, mencari buku antologi cerpen "Lelaki yang Membelah Bulan", duduk santai dengan segelas teh manis. Tiba-tiba temanku keheranan. Menatapku penuh curiga.
"Kok, kamu buka-buka buku, kan mumpung libur?"
aku lantas merespon, "Daripada buka-buka saku, tapi gak ada uang saku, hayoo..."
kami pun tertawa serentak, menganggap obrolan receh ini sebagai pengantar tahun baru. Disana, langit mulai cetar-cetor menembakkan kembang api. Dari ujung timur sampai timur lagi bak konstelasi kembang yang menganggumkan. Aku terpana sembari baca buku.
Jadi, tahun baru adalah ajang kembangkan prestasi, tak hanya kembang api; katanya sih resolusi, kok tak sesuai ekspetasi? Â Saya baca-baca buku bukan berarti aku sok pintar, tapi ingin mengembangkan bakat di bidang baca-tulis. Aku berharap, semoga detik-detik yang baru memberikan pelajaran yang baru bagiku, tak harus menanti tahun baru tiba, apa salahnya kita ganti kembang api dengan kembangkan pretasi. Ya, mendadak temanku bertanya;
"Kalau seperti tukang petasan, gimana? Kan sehari-harinya bareng kembang api terus."