Tapi mengapa dominasi karya sastra harus merujuk pada rindu, kopi, hujan, dan senja, terutama bagi penggila puisi? Oh, sekali-kali tidak, puisi itu bukan melibatkan kosakata yang "itu-itu saja".
Bukan berarti Sapardi harus membikin puisi tentang hujan nan sederhana tapi setelah puisi Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari mengisahkan "Ini loh, seorang Sapardi tidak larut dalam romantisme, baik hujan, maupun bulan Juni" artinya, puisi tersebut tentang bayang-bayang dan matahari yang menafikan sosok hujan. Dan Seno G. Ajidarma dengan cerpen "Aku, Pembunuh Munir" yang serta-merta tidak senja melulu.Â
Saya jujur berguru pada beliau-beliau bukan dari sisi romantisnya, meski itu lumrah. Tapi, dari sisi ke-jeniusannya sehingga karya-karya beliau out of the box, tidak terpaku satu genre, dan mengiyakan bahwa sastra Indonesia itu bukan kopi, senja, rindu, atau hujan; Ya, itu-itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H