Mohon tunggu...
Hartanto Amrunofhart
Hartanto Amrunofhart Mohon Tunggu... profesional -

Pembelajar ekonomi syari'ah | 083872230003 | Twitter @amrunofhart

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Klakson!

28 November 2013   11:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menulis soal garis jalan, spion, kemudian kopling, sekarang saya menggunakan klakson sebagai bahan. Tapi saya bukan seorang montir handal, malahan saya pasien reguler bengkel seorang teman karena saking ‘tidak tahu’ soal mobil.

Pernahkah berada di sebuah perempatan dengan rambu merah menyala? Atau ketika kita harus antre di perlintasan kereta api. Awalnya tentu setiap pengguna jalan saling menghormati untuk ‘terpaksa’ antre dalam lalu lintas tersebut. Namun seringnya, ketika lampu sudah ‘merah muda’, atau kereta sudah tinggal buntutnya, mendadak telinga penging mendengar klakson, refleks pun beragam.

Atau, pernahkah kita parkir tanpa juru parkir, atau berbelok di tikungan yang kita kira sepi, dan mendadak telinga penging menjumpai bunyi klakson? Refleks pun kembali beragam.
Dalam berinteraksi dengan siapapun, kadang kita harus siap dengan bunyi klakson. Baik yang mendadak ataupun terduga, baik yang bunyinya bagus atau yang nyaring tapi fales. Kesemuanya hanyalah pengingat, bahwa kita belum sesuai ekspektasi orang yang meng-klakson kita.

Memang ada hak kita untuk membalas dengan klakson balik, tokh kita juga sama-sama pengguna jalan lalu lintas kehidupan ini. Tapi apakah itu tepat sebagai pilihan utama dan terbaik? Bukankah akan lebih baik kalo kita lihat spion dan pastikan kita baik-baik saja? Barangkali justru kita patut berterima kasih dengan pengklakson karena sudah mengingatkan kita, atau minimal, merelakan sedikit energinya untuk membunyikan klakson untuk kita?

Bahkan jika kita pada posisi yang, menurut kita, lebih tinggi sekalipun kita harus siap di-klakson.
Wong, saya juga pernah meng-klakson mobil yang beberapa kali lipat lebih mewah dari motor butut tunggangan saya. Bukankah sama saja, bahwa setiap orang bisa berlaku kurang sesuai dengan ekspektasi orang lain. Justru, lebih ditinggikan posisi kita, lebih tinggi pula ekspektasi orang kepada kita. Alhasil, tentu lebih besar pula kemungkinan kita untuk mengecewakan orang lain dengan kealpaan kita.

Hidup seperti seni lukis tanpa penghapus, akan selalu ada kelakuan yang kurang pas yang kita goreskan. Klakson yang saya maksud, tentu pengingat bagi kita untuk bisa membuat goresan kesalahan dan/atau kealpaan tersebut menjadi lebih baik. Sehingga, tak ada gunanya juga kita meng-klakson balik, sudah menguras tenaga, emosi, juga membuat berisik lingkungan sekitar. Makanya, pilihan untuk mendengarkan klakson itu dan memperbaiki diri secara terus menerus tentu bukanlah pilihan yang buruk.

Buat saya sih, lebih baik mendengarkan klakson itu sembari mencoba menikmati iramanya sebagai pengiring perbaikan diri. Tokh baru klakson, sedangkan untuk Sangkakala Malaikat penanda Hari Akhir pun kita harus siap bukan?
~amrunofhart~

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun