Di Jalan Bukit Berbunga
kusam wajahmu menempel pada trotoar-trotoar retak
menutup comberan anyir yang tersumbat  tumpukan sampah
menggenang menjadi tempat menari botol bir dan bungkus tisu
menyirat bahwa kelak kota ini akan rusak
Semenjak beberapa tahun terakhir
saat para pemodal merangsek ke desa-desa
menebang pohong menggali lubang
menguras mata air
dan mengusir bunga-bunga
wajah kota semakin bengis
Di Jalan Bukit Berbunga
rangkaian cerita kini  sedang ditulis
dari derai air mata dan air hujan yang silih berdesakan
bermula dari cerita-cerita surgawi
tentang bukit-bukit yang hijau
tentang lembah-lembah berhias mawar, krisan dan bunga lely
tentang bunga-bunga yang tersenyum
kepada para wisatawan dan anak-anak sekolah
tentang bunga-bunga baik hati
yang  tak pernah lupa menebar wangi
dan mengucap selamat pagi
Di Jalan Bukit Berbunga
sepuluh tahun lagi
tersurat cerita baru yang tak kalah seru
kali ini tentang bumi yang retak,
rumah-rumah yang hancur
dan sisa-sisa bunga yang menangis
Dan dua puluh tahun kemudian
di emperan sebuah rumah reyot
wanita tua duduk memangku cucu
bercerita tentang buah surga
yang dulu bergelantungan di halaman
tentang bunga-bunga di semua petak tanah
yang kini telah diganti dengan jubel rumah
dan jangkung hotel-hotel mewah
Malang 1 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H