Mohon tunggu...
amrullah ali moebin
amrullah ali moebin Mohon Tunggu... -

semua proses hidup dinikmati dengan perjuangan,.,.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dibalik Bupati yang Hebat Terdapat Pembisik yang Kuat

10 Juli 2016   14:33 Diperbarui: 10 Juli 2016   14:35 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari hampir hujan. Handphoneterus bergetar. Beberapa pesan dari grup WA masuk silih berganti. Satu pesan berupa kiriman link website menarik perhatian untuk dibaca. Saya putuskan untuk klik dan membacanya. Para pembisik kedunguan judul tulisan di website itu. Penulisnya ternyata kawan saya. Dia jurnalis di Malang.

Ditulisannya, dia menyoroti Presiden Joko Widodo. Intinya, tentang kebijakan Jokowi yang yang menimbulkan pro-kontra. Di tulisan itu, penulis menduga ada pembisik yang mempengaruhi pada keputusan Jokowi. Dari tulisan itulah akhirnya terjadi diskusi ringan di dunia nyata. Tentang pembisik.

Para pembisik menjadi profesi kekinian. Mereka kadang terlihat oleh publik. Kadang tak terlihat. Kadang pembisik bisa berselfie bersama dengan yang dibisik. Kadang bisa jadi hanya sebagai ‘tukang foto’ yang dibisiknya. Mereka yang bisa berselfie bersama dengan ‘koban’ biasanya dari kalangan luar. Sedangkan, ‘tukang foto’ juragannya itu dari kalangan internal. Kadang, mereka yang mengatur jadwalnya juga.

Profesi pembisik mulai mendapat tempat dihati para pemegang kekuasaan. Bagi saya, mereka datang dari berbagai kalangan. Tapi, rata-rata mereka datang dari kalangan atas. Seperti, pemuka agama, akademisi, pengusaha, penegak hukum, dan partai solitik eh maksud saya politik. Kadang pembisik juga bisa datang dari aktipis el es em. Bahkan, bisa juga seorang sartawan. Eh, salah lagi maksudnya wartawan.

Pembisik ada yang memang diminta oleh sang penguasa. Tapi, kadang ada juga yang tak diminta tapi selalu mbisiki’i.

Seambrek profesi bisa masuk sebagai pembisik. Gimana? keren kan menjadi para pembisik. Sayang, untuk menjadi pembisik tak ada pengumuman pembukaan lowongan seperti yang dipaparkan dikoran atau seperti yang diseber-sebar dilaman facebook hingga di share di grup WA dan BBM.

Seperti yang saya sebutkan tadi. ‘Korban’ para pembisik adalah pemegang kekuasaan. Sebut saja pemegang kekuasaan itu Bupati. Bila korbannya bupati, maka masyarakat harus bersiap untuk mengencangkan ikat pinggang agar bisa menahan lapar. Karena para pembisiknya bukanlah orang yang tahu tentang kepentingan masyarakat. Sebab, ditangan para pembisik-lah kemajuan sebuah daerah. Sehingga keluarlah istilah, ‘dibalik bupati yang hebat ada pembisik yangkuat’. He he he

Bila kondisinya seperti istilah diatas. Maka, lenyap sudah harapan generasi muda yang memiliki ide brilian untuk mengembangkan daerahnya. Tertutup sudah harapan masyarakat pinggiran yang ingin diperhatikan pemerintah.

Sebab, bupati ‘disetir’ oleh pembisiknya. Atau istilah lain. Tergantung pembisik kebijakan akan dibuat.

Nah, sekarang mari diurai para pembisik yang harus diwaspadai. Mirki (mirip kiai). Anggap saja mirki adalah sebuah istilah baru yang tidak pernah ada diperadaban dunia manapun. Sebab, ini istilah yang saya buat sendiri. Golongan mirki saya persembahkan bagi pembisik yang pacakane mirip seorang kiai. Berkopyah dan mengenakan sarung, wajahnya cerah sebab usai raup. Ditambah aksesoris sorban.

Kadang, bisikannya berbau saran pembangunan tempat ibadah ataupun lembaga pendidikan agama. Lantas, dia akan menyisipkan proposal bantuan milik lembaga pendidikannya agar sama-sama mendapat bantuan itu.

‘’Itu untuk kepentingan ummat pak Bupati,’’ dalih mirki saat memberikan bisikannya pada sang bupati.

Mirkon (Mirip Kontraktor). Pembisik ini gayanya parlente. Tapi perutnya agak buncit. Rambut dan sepatunya sama-sama klimis. Semua pasti sudah tahu apa kepentingannya si Mirkon saat melancarkan bisikannya kepada bupati. Setidaknya, sebagian pembangunan di daerah itu bisa dikerjakan oleh PT ataupun CV-nya.

‘’Pak bupati akan mendapatkan piala adipura kencana kalau pembangunan kotanya bagus,’’ ujar si Mirkon dengan gaya khasnya.

Selanjutnya, Mirtipis (Mirip Aktipis). Penampilannya mbois. Otaknya cling. Ide-idenya suip. Tapi, setiap ide dia berharap bisa mendapat jatah untuk melakukan pandampingan. Dalihnya, agar setiap program bisa untuk mengepulkan dapur dikantor lembaganya.

‘’Ini program yang repolusioner pak. Sangat transparan. Bapak akan mendapatkan penganugerahan,’’

Setidaknya, bisa seperti itu ungkapan yang disampaikan si Mirtipis.

Ada juga yang disebut Mirsaha (Mirip Pengusaha). Ini saya sengaja bedakan dengan si Mirkon. Sebab, Mirsaha ini diatas si Mirkon. Mirsaha punya industri besar yang bercokol di tempat bupati itu memimpin. Untuk membisiknya sederhana saja.

‘’Silahkan bapak nanti bisa memasok bahan-bahan di perusahaan kami melalui perusahaan yang bapak miliki. Setidaknya itu bisa membantu perusahaan kami,’’ tuturnya Si Mirsaha diplomatis.

Dengan diplomasi itu, si Mirsaha bisa lebih santai dan enjoy melakukan eksploitasi sumber daya alam milik daerah tersebut. Mereka tak akan khawatir soal AMDAL atau merusak lingkungan.

Sekarang giliran Mirwan (Mirip Wartawan). Ya, ini kadang lebih lihai dalam melakukan bisikan. Hanya dengan berucap ba bi bu. Bupati pasti mengiyakan. Nah, tapi bisikan itupun bukan gratis. Pasti ada udang dibalik rempeyek. Yup, si Mirwan tadi akan meminta jatah ‘86’ pada bupati tersebut.

Nama-nama tadi hanya mirip saja lho. Profesi aslinya pasti tidak seperti itu. Saya yakin, Kiai, Pengusaha, Kontrakor, aktivis LSM dan para Wartawan adalah orang baik.

Mereka yang saya sebut tadi hanya mirip saja. Bisa jadi, mereka hanya bertopeng profesi itu untuk menjadi pembisik bupati. Atau lebih tepatnya, kiai palsu, kontrakor palsu, pengusaha palsu, wartawan palsu, dan aktivisi paslu.

Nah, sekarang keputusan ada pada bupati. Memilih siapa menjadi pembisiknya. Kalau saya boleh menyarankan. Silahkan pak Bupati bisa ambil ganti celana jins. Terus pakai kaus. Jangan lupa topi dan kaca mata. Nyalakan motor bebek di depan kantornya. Dan jalan-jalan deh keliling kota. Ati-ati ndak usah bawa pengawal atau pengaman. Kalau ada warung silahkan mampir pesen kopi. Mengopilah dengan rakyat yang ada di warung itu. Dengarkan keluhan langsung dari rakyat. Omongan mereka yang ada dibawah itu setidaknya akan menjadi pembisik yang baik. Eit, satu lagi. ndak usah selfi-selfi lalu diunggah di medsos ya!

Monggo disruput dulu kopinya!

Tuban, 10 Juli 2016 

AAM

Catatan: Tulisan pernah dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun